Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI telah menerima Nota Diplomatik dari Duta Besar Arab Saudi di Jakarta terkait penyelenggaraan ibadah haji 2025.
Direktur Timur Tengah pada Kemlu RI, Ahrul Tsani Fathurrahman, menyebut bahwa Nota Diplomatik itu juga sudah disampaikan ke Kementerian Agama (Kemenag) RI dan Badan Penyelenggara Haji (BP Haji).
"Kemlu RI telah menerima nodip [Nota Diplomatik] dimaksud melalui jalur diplomatik dari Kedubes Arab Saudi," kata Ahrul kepada wartawan, Minggu (22/6).
"Mengingat isunya tentang haji, sesuai prosedur dan tupoksi Kemlu sebagai koordinator pelaksana hubungan dan kerja sama bilateral, Kemlu RI telah meneruskan Nota Diplomatik dimaksud melalui surat resmi ke Kemenag dan BP Haji, untuk menjadi perhatian dan tindak lanjut," ucap dia.
Nota Diplomatik itu terbit pada 16 Juni 2025. Nota itu menjadi catatan tertutup yang hanya ditujukan pada tiga pihak, yaitu Menteri Agama dan Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, serta Direktur Timur Tengah pada Kementerian Luar Negeri.
Sebelumnya, Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag, Hilman Latief, mengatakan nota itu terkait dinamika penyelenggaraan ibadah haji yang sudah terselesaikan dan disampaikan penjelasannya kepada Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi.
Hilman menjelaskan bahwa ada lima hal pokok terkait dinamika haji yang sudah diselesaikan dan tercakup dalam nota diplomatik Dubes Saudi di Jakarta.
Pertama, masalah koherensi data jemaah, baik yang masuk dalam E-Haj, Siskohat Kementerian Agama, dan manifes penerbangan. Dalam data tersebut, ditemukan ada beberapa nama jemaah yang berbeda-beda antara manifes dan jemaah yang ikut terbang dalam pesawat. Hilman pun mengungkapkan bahwa permasalahan itu bisa ditangani pada awal Mei lalu.
Menurut Hilman, problem ini muncul dan tidak bisa dilepaskan dari kondisi di lapangan, termasuk di embarkasi. Pada proses pemvisaan, ada beberapa nama yang batal berangkat karena beberapa sebab sehingga harus diganti. Tidak jarang proses pembatalan ini juga berlangsung secara tiba-tiba, baik batal karena sakit, meninggal maupun sebab lainnya.
Kedua, nota itu terkait pergerakan jemaah yang berangkat pada gelombang I dari Madinah ke Makkah. Di Madinah, jemaah haji dari satu penerbangan ditempatkan pada satu hotel.
Namun, ketika akan diberangkatkan ke Makkah, konfigurasinya harus berbasis Syarikah. Sementara, ada kondisi konfigurasi sebagian kelompok kecil jemaah yang berbeda-beda Syarikah. Mereka ini sementara tinggal dulu di Madinah.
Hilman pun menjelaskan bahwa hal itu juga telah dikomunikasikan dengan Kementerian Haji maupun ke Syarikahnya.
Ketiga, terkait penempatan jemaah pada hotel di Makkah. Hilman menjelaskan mayoritas jemaah haji Indonesia tinggal di hotel masing-masing sesuai syarikahnya. Tujuannya, untuk mengamankan jemaah saat pergerakan ke Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna).
Namun, ada sejumlah jemaah yang terpisah dan berharap bisa bergabung dengan kloter besarnya, meski syarikahnya berbeda. Ada di antara jemaah yang memberi tahu kepindahan hotel mereka, tapi ada juga yang tidak memberi tahu, baik kepada Kasektor maupun Ketua Kloternya.
Keempat, terkait kesehatan jemaah. Menurut Hilman, hal itu juga sudah dibahas sejak awal. Jumlah jemaah haji Indonesia yang lansia dan risiko tinggi cukup banyak. Hal itu didiskusikan sejak awal karena ada kekhawatiran dari Pemerintah Saudi, jumlah jemaah yang wafat di 2025 melebihi tahun lalu. Sehingga, jemaah lansia dan risti harus dijaga dengan baik oleh grup dan pendampingnya.