Kementerian ATR/BPN mengungkap akan terus mendukung program transmigrasi yang saat ini disiapkan oleh Kementerian Transmigrasi. Untuk itu, Kementerian ATR/BPN akan mempercepat sertifikasi lahan transmigrasi yang masih tersisa lebih dari 238 ribu hektare.
Wakil Menteri ATR/BPN Ossy Dermawan menuturkan sertifikasi lahan merupakan hal penting yang dibutuhkan oleh para transmigran karena terkait dengan kepastian hukum.
“Karena tanah bagi para kaum transmigran tentunya bukan hanya lahan untuk bercocok tanam, tetapi juga bisa menjadi modal dasar kehidupan dan kesejahteraan mereka semua,” kata Ossy dalam pelepasan Tim Ekspedisi Patriot di Balai Kartini, Jakarta Selatan pada Senin (25/8).
Menurut Ossy kepastian hukum terkait tanah juga melindungi para transmigran dari sengketa dan klaim pihak ketiga atas tanah yang mereka tempati.
Selain kepastian hukum, ia juga memandang keberadaan sertifikat sebagai jaminan akses ekonomi bagi para transmigran.
“Karena sertifikat kemudian bisa menjadi dasar bagi transmigran untuk mendapatkan tambahan modal usaha melalui lembaga keuangan,” ujarnya.
Meski saat ini target Kementerian ATR/BPN adalah 238 ribu hektare lahan transmigrasi yang tersertifikasi, Ossy menambahkan bahwa dalam RPJMN 2025-2029 targetnya ada di sekitar 600 ribu hektare.
Ossy juga mengungkap saat ini sertifikasi lahan transmigrasi masih mengalami beberapa tantangan. Salah satunya adalah perbedaan subjek tanah transmigrasi dengan catatan Pemerintah Daerah dan beberapa tantangan lain termasuk yang berasal dari transmigran itu sendiri.
“Ada juga transmigran yang meninggalkan lokasi, yang berpindah tempat dengan alasan ekonomi dan lain-lain sebagainya,” ujarnya.
Selain itu, terdapat tantangan di mana saat ini masih banyak tanah transmigrasi yang belum memiliki Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang sah.
“Padahal tanpa HPL, proses sertifikasi tidak dapat dilanjutkan. Inilah yang kemudian sedang diperjuangkan oleh Menteri Transmigrasi beserta jajaran dengan program Trans Tuntas agar supaya lahan-lahan transmigran bisa diselesaikan,” kata Ossy.
Tantangan terakhir menurut Ossy Adalah keterbatasan data spasial dan data yuridis. Menurutnya, saat ini data yang ada terkadang tidak lengkap dan berbeda antara satu lembaga dengan lembaga yang lain.