
Pengamat militer sekaligus Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf mendorong agar kasus pembunuhan Prada Lucky Chepril Saputra Namo diselesaikan dalam peradilan sipil, alih-alih peradilan militer. Itu ditujukan agar tak ada impunitas di dalam proses peradilan.
"Kami mendorong agar mengadili kasus Prada Lucky di peradilan sipil sebagaimana amanat TAP MPR No. VII Tahun 2000 dan UU TNI," ujarnya saat dihubungi, hari ini.
Dalam TAP MPR No. VII Tahun 2000 Pasal 3 Ayat (4) huruf a dan Pasal 65 Ayat (2) UU TNI secara jelas menyatakan bahwa prajurit yang melakukan tindak pidana umum harus diadili di peradilan umum.
Sayangnya, kata Al Araf, dalam kasus-kasus seperti itu, penanganan yang ditempuh ialah melalui peradilan militer. Hal tersebut menurutnya mengingkari prinsip equality before the law dan menebalkan persepsi bahwa anggota militer kebal hukum.
Kasus pembunuhan Prada Lucky yang diduga menjadi korban penganiayaan para seniornya yang bertugas di Batalyon Teritorial Pembangunan 834 Wakanga Mere, NTT. Prada Lucky sempat dirawat di rumah sakit dengan bekas luka seperti bekas tusukan di kaki dan belakang tubuhnya serta memar dan lebam di sekujur tubuhnya, sebelum akhirnya meninggal dunia pada 6 Agustus 2025.
Kasus pembunuhan prajurit TNI seperti pada kasus Prada Lucky di NTT bukanlah kasus pertama yang terjadi. Sebelumnya dalam kurun waktu 4 tahun, setidaknya ada 2 kasus pembunuhan oleh sesama anggota TNI yang mencuat ke hadapan publik.
Kasus-kasus tersebut adalah kasus pembunuhan Prada MZR yang tewas akibat dianiaya enam seniornya di Batalyon Zeni Tempur 4/TK pada Desember 2023 dan kasus tewasnya Sertu Bayu yang meninggal dunia pada November tahun 2021 akibat menjadi korban penganiayaan yang dilakukan oleh dua perwira saat bertugas di Timika, Papua.
Dalam dua kasus tersebut, kata Al Araf, terdapat pola yang sama yaitu ketertutupan penegakan hukum. Panglima TNI Andika Perkasa pada 2021 sampai meminta adanya penyidikan ulang terhadap kasus pembunuhan Sertu Bayu karena dianggap terdapat banyak kejanggalan (impunitas).
"Pada titik ini, dengan kondisi belum direformasinya peradilan militer di mana hakim, jaksa dan terdakwanya sama-sama merupakan anggota TNI, maka patut disangsikan bahwa proses hukum yang akan berjalan dengan baik dan memberikan keadilan bagi korban (impunitas)," jelas Al Araf.
"Impunitas yang terjadi dalam kasus-kasus tersebut lahir dari sebuah sistem yang menutup diri terhadap pengawasan publik, serta lebih mengedepankan perlindungan terhadap institusi alih-alih menjunjung tinggi keadilan bagi korban," tambahnya.
Kasus-kasus tersebut menunjukkan keberadaan sistem peradilan militer tidak menjamin adanya transparansi dan akuntabilitas yang memadai. Vonis peradilan militer yang jauh dari kata adil, sama artinya dengan memperkuat persepsi bahwa anggota militer kebal hukum.
"Kami memandang, impunitas yang masih sering terjadi tidak lepas dari kegagalan reformasi peradilan militer saat ini," pungkas Al Araf. (Mir/P-1)