
FENOMENA pengibaran bendera bajak laut dari serial anime dan manga Jepang One Piece marak dilakukan masyarakat. Pemasangan itu pun dinilai politis oleh sebagian pihak karena dilakukan menjelang hari kemerdekaan RI.
Sementara itu, Kadiv Humas Jogja Police Watch, Baharuddin Kamba menilai, munculnya bendera One Piece merupakan simbol kritik publik terhadap situasi sosial, politik dan hukum saat ini. Tentunya kritik publik tersebut ditujukan kepada pemerintah sebagai penyelenggara negara.
"Sebaiknya pemerintah tidak perlu buru-buru menganggap (pasang bendera One Piece) sebagai pelanggaran hukum dengan menggunakan kepolisian sebagai alat negara," kata dia.
Jogja Police Watch (JPW) meminta kepada aparat kepolisian untuk tidak bersikap secara berlebihan apalagi sampai menurunkan bendera One Piece karena itu merupakan bentuk kritik terhadap kebijakan pemerintah.
"Ya pemerintah harus menjawabnya dengan kebijakan konkret, bukan kebijakan berlebihan apalagi sampai menurunkan. Sepanjang tidak melanggar aturan, maka sah saja masyarakat menyampaikan bentuk ekspresinya melalui pasang bendera One Piece," terang dia.
Di sisi lain, Dosen Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Ade Marup Wirasenjaya, S.IP., M.A., menilai, bendera Merah Putih adalah simbol kenegaraan yang wajib dihormati. Di sisi lain, bendera One Piece juga merepresentasikan ekspresi sosial masyarakat yang tengah kecewa terhadap situasi politik dan penyelenggaraan negara.
“Pengibaran bendera bajak laut ini lebih tepat dilihat sebagai bentuk kritik sosial politik, bukan ancaman terhadap kedaulatan. Selama bendera One Piece itu tidak dikibarkan lebih tinggi dari Merah Putih dan hanya diposisikan sebagai simbol kritik terhadap penyelenggaraan negara, saya tidak melihat itu menggerus kedaulatan. Ini adalah ekspresi teguran terhadap dominasi kekuasaan dan ketimpangan sosial yang dirasakan masyarakat,” nilai dia.
Menurut dia, pesan simboliknya jelas, yaitu kemerdekaan jangan dibajak oleh segelintir elit. "Istilah bajak laut di sini menjadi sindiran bahwa kemerdekaan yang diperjuangkan pendiri bangsa jangan sampai dinikmati hanya oleh kelompok kekuasaan saja,” lanjut dia.
Esensi dari kritik tersebut adalah mengembalikan semangat nasionalisme agar tidak terjebak dalam ritual dan seremonial belaka. Ruh kemerdekaan harus terinternalisasi dalam kebijakan, perilaku elit, dan aparat negara.
“Saya kira fenomena ini juga harus dilihat sebagai ekspresi budaya pop yang memuat pesan kritik sosial dan politik,” paparnya.
Fenomena ini hendaknya dijadikan sebagai bentuk refleksi bersama bagi para penyelenggara negara agar tidak mengabaikan suara-suara kritis masyarakat yang disampaikan melalui berbagai ekspresi budaya.
“Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk tidak sekadar merespons simbol, tetapi juga menangkap pesan-pesan substantif di baliknya,” tutup dia. (H-2)