Mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya menghadirkan sistem pendingin dan penerangan berbasis Internet of Things (IoT) untuk meningkatkan produktivitas peternakan ayam petelur di Jawa Timur.
Enggar menjelaskan bahwa gagasan penelitiannya berawal dari pengalaman saat melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN).
“Ide tugas akhir ini sebenarnya terinspirasi dari program kerja kelompok saya ketika mengikuti KKN di Kabupaten Mojokerto beberapa semester lalu,” ungkap pemuda bernama lengkap Wahyu Enggar Jati ini kepada Basra, Rabu (27/8).
Mahasiswa Program Studi Teknik Informatika yang akan melaksanakan wisuda pada 30 Agustus 2025 ini menjelaskan, bahwa suhu merupakan salah satu faktor yang paling berpengaruh dalam produktivitas ayam petelur.
“Zona termonetral ayam petelur berada pada suhu 25,9–29,9°C. Ketika suhu kandang melebihi batas ini, ayam akan mengalami stres termal yang signifikan, menyebabkan penurunan kualitas dan jumlah telur yang dihasilkan. Hal ini berdampak langsung pada pendapatan peternak, terutama mereka yang sepenuhnya bergantung pada hasil peternakan,” jelasnya.
Selain suhu, Enggar juga mengatakan jika kelembapan udara di dalam kandang juga memainkan peran penting dalam menentukan kenyamanan ayam.
“Kelembapan yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat memperparah stres termal dan meningkatkan risiko gangguan fisiologis pada ayam. Oleh karena itu, menjaga keseimbangan suhu dan kelembapan di kandang menjadi prioritas utama untuk mendukung kesejahteraan ayam petelur,” ujar mahasiswa semester delapan itu.
Dalam menghadapi tantangan ini, Enggar berasumsi dengan inovasi teknologi Internet of Things (IoT) dapat memberikan solusi yang tepat dan bermanfaat.
“Dengan memanfaatkan IoT dapat memungkinkan pemantauan suhu dan kelembapan secara real-time, memberikan kemudahan bagi peternak untuk memantau kondisi kandang kapan saja dan di mana saja,” ungkapnya.
Enggar juga menjelaskan tahap implementasi sistem pendingin dan penerangan kandang ayam petelur berbasis IoT yang telah dirancang dan direalisasikan.
“Dengan menggunakan mikrokontroler ESP32 sebagai pusat kendali, sistem memanfaatkan beberapa sensor untuk memantau parameter lingkungan secara real-time, yaitu sensor DHT22 untuk suhu dan kelembapan, sensor TSL2561 untuk intensitas cahaya dalam satuan lux, sensor MQ-135 untuk deteksi gas amonia, serta sensor ultrasonik HC-SR04 untuk mengukur ketinggian air pada tangki air,” terang mahasiswa asal Kota Magetan tersebut.
Tidak hanya itu, penggunaan metode kontrol lampu dapat dilakukan baik secara manual maupun otomatis disesuaikan dengan kondisi musiman dan lingkungan fisik kandang.
“Metode otomatis berbasis lux lebih efektif digunakan pada musim hujan, ketika seluruh kandang ditutup rapat dengan terpal untuk menjaga suhu dan kelembapan tetap stabil. Sedangkan metode manual berbasis waktu dapat digunakan saat musim kemarau, ketika terpal pelindung dibuka sebagian besar atau bahkan seluruhnya untuk meningkatkan sirkulasi udara,” pungkasnya.