REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kekerasan terhadap anak dengan disabilitas masih tinggi. Sebanyak sembilan dari 10 orang dekat anak dengan disabilitas menyatakan pernah menyaksikan kekerasan terhadap anak dengan disabilitas.
Dalam peringatan Hari Anak Nasional (HAN) 2025 bertajuk 'Temu Anak Indonesia 2025: Inklusif, Penuh Makna, dan Riang Gembira' di sebuah hotel di bilangan Jakarta Pusat yang digagas oleh Indonesia Joining Forces (IJF), sebuah konsorsium beranggotakan enam organisasi yang berfokus kepada anak, mengungkapkan hasil survei kuantitatif dan studi kualitatif oleh anggota Forum Anak IJF mengenai pengalaman kekerasan terhadap anak dengan disabilitas. Perwakilan anak juga memaparkan suara dan rekomendasi mereka terhadap Strategi Nasional Pencegahan Kekerasan terhadap Anak, baik di tingkat nasional maupun regional ASEAN.
Lebih dari 80 anak dari berbagai wilayah di Indonesia, termasuk anak dengan penyandang disabilitas dan perwakilan dari Forum Anak Indonesia, komunitas disabilitas serta sekolah luar biasa (SLB) hadir dalam acara ini. Selain anggota konsorsium, yaitu ChildFund International di Indonesia, Plan Indonesia, Save the Children Indonesia, SOS Children’s Villages, Terre des Hommes Germany yang terafiliasi dengan Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak serta Wahana Visi Indonesia, hadir juga para pemangku kepentingan dari kementerian, lembaga negara dan organisasi masyarakat sipil yang bekerja untuk pemenuhan hak anak.
“Kegiatan ini menjadi momentum penting untuk menegaskan kembali komitmen bersama dalam menciptakan lingkungan yang aman, inklusif, dan bebas dari kekerasan bagi seluruh anak. Sebagai konsorsium organisasi fokus anak, IJF terus mengedepankan dorongan dan dukungan terhadap Pemerintah terutama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam mempromosikan upaya menghentikan kekerasan pada anak,” ujar Ketua Komite IJF periode 2024-2025 dan juga Direktur Nasional Wahana Visi Indonesia, Angelina Theodora, dalam sambutannya.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa inklusif bagi IJF bukan sekadar slogan. Melalui peringatan HAN ini, IJF berupaya untuk secara nyata menghadirkan perspektif langsung dari anak-anak dengan disabilitas, serta orang-orang yang dekat dengan mereka.
Hasil kajian juga menyebutkan bahwa kekerasan dalam bentuk verbal dan psikis atau emosi adalah bentuk kekerasan yang paling banyak dialami oleh anak dengan disabilitas. Sementara, tiga dari 10 anak dengan disabilitas menyatakan pernah mengalami bahaya atau kekerasan.
Menanggapi temuan ini, Asisten Deputi Perlindungan Anak Kondisi Khusus Kementerian Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak, Susanti, mengatakan bahwa setiap anak, termasuk anak penyandang disabilitas, memiliki hak untuk tumbuh optimal, berpendapat dan diperlakukan dengan adil. Kasus kekerasan terhadap anak masih menjadi fenomena gunung es sehingga menjadi pekerjaan rumah bersama untuk memastikan perlindungan mereka.
“Anak adalah sumber daya manusia yang sangat potensial yang harus kita jaga dan lindungi dari segala bentuk kekerasan, diskriminasi, dan perlakuan salah lainnya," katanya.
Karena itu, kebijakan dan langkah nyata dari berbagai pemangku kepentingan menjadi harapan banyak orang.
“Harapan saya, sebagai anak penyandang disabilitas, ke depannya pemerintah dan para pemangku kepentingan dapat lebih cepat merespon. Kami, anak penyandang disabilitas, tiga kali lebih rentan mengalami kekerasan terhadap anak dan perempuan. Kami juga berhak dan ingin untuk bisa merasakan rasa aman,” ungkap Zakiya, anak dengan disabilitas dari Jakarta Timur.
Ajang temu anak juga menjadi wadah diseminasi hasil konsultasi anak terhadap upaya pencegahan kekerasan di tingkat ASEAN dan global, termasuk pesan yang dibawa anak Indonesia pada pertemuan Ministerial Meeting di Bogotá 2025. Hal ini mendapat respon positif dari ASEAN.
“Setelah melihat hasil survei nasional, saya semakin menyadari betapa bermanfaat dan bermaknanya masukan dari anak. Di ASEAN sendiri, kami sedang membiasakan diri untuk berkonsultasi dengan anak, mendengarkan lebih banyak suara mereka, karena kami tahu anak- anak adalah calon pemimpin bangsa dan calon pemimpin ASEAN. Oleh karena itu, mendengarkan, mengakomodasi, dan mengintegrasikan pendapat anak ke dalam dokumen rencana aksi regional untuk penghapusan kekerasan terhadap anak adalah hal yang sangat penting,” ujar Yanti Kusumawardhani, perwakilan ASEAN Commission on the Protection of the Rights of Women and Children (ACWC).
Selain sesi diskusi dan presentasi, peserta juga diajak berpartisipasi dalam berbagai booth edukatif dan permainan yang mengangkat isu hak anak, advokasi, serta pengenalan alat belajar untuk anak disabilitas netra.
Melalui kegiatan ini, IJF berharap dapat memperkuat pemahaman masyarakat tentang berbagai bentuk kekerasan terhadap anak, meningkatkan kapasitas dalam merespons kasus kekerasan secara cepat dan tepat, serta menumbuhkan komitmen kolektif untuk menciptakan Indonesia yang lebih aman dan ramah anak.