
DALAM konteks ketatanegaraan, pemberian amnesti dan abolisi bukan merupakan keputusan pemerintah, melainkan hak prerogatif presiden, sebagai konsekuesi logis dari kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara menurut Pasal 14 UUD 1945.
"Sederhananya, terhadap dua perkara yang masih berjalan penuntutannya itu, maka dengan diberikannya amnesti kepada Hasto Kristianto semua akibat hukum pidananya dihapuskan, sedangkan dengan diberikannya Abolisi, penuntutan terhadap Tom Lembong seluruhnya ditiadakan," jelas Pakar Hukum Pidana FH Trisakti Dr. Albert Aries, SH, MH.
Albert Aries menuturkan, Presiden Jokowi memang pernah memberikan amnesti terhadap Baiq Nuril dan Saiful Mahdi yang terjerat UU ITE. Namun, saat itu terdapat konteks perasaan ketidakadilan dari penerapan UU ITE yang berlebihan, dan upaya hukum yang diajukan keduanya pun sudah maksimal hingga ke Mahkamah Agung.
Selain Pasal 14 UUD 1945, dasar hukum dari kedua hak prerogatif Presiden tersebut juga masih mengacu pada UU Darurat No. 11 Tahun 1954, yang konteksnya adalah kedaruratan akibat dari persengketaan politik antara Republik Indonesia (Yogyakarta) dan Kerajaan Belanda, yang kini sudah tidak relevan lagi.
"Supaya pemberian amnesti dan abolisi tidak bernuansa politis dan mengakibatkan impunitas khususnya untuk tindak pidana korupsi, maka Pemerintah dan DPR seharusnya merampungkan Rancangan UU Grasi Amnesti Abolisi dan Rehabilitasi terlebih dahulu, agar ada standar yang lebih jelas, objektif dan berkeadilan," pungkasnya. (H-2)