
Harga minyak mentah diprediksi terus melonjak hingga USD 130 per barel di tengah eskalasi konflik di Timur Tengah, terutama usai Amerika Serikat (AS) mengikuti Israel menyerang fasilitas nuklir di Iran.
Dikutip dari Reuters, Minggu (22/6), serangan yang diumumkan oleh Presiden AS Donald Trump di situs media sosial Truth Social tersebut memperdalam keterlibatan AS dalam konflik di Timur Tengah.
Kekhawatiran utama pasar akan berpusat pada kenaikan harga minyak mentah dan inflasi. Para investor telah mempertimbangkan sejumlah skenario pasar yang berbeda sejak akhir pekan ini.
Sebelum serangan AS pada Sabtu, analis di Oxford Economics memodelkan tiga skenario, termasuk deeskalasi konflik, penghentian total produksi minyak Iran, dan penutupan Selat Hormuz. Masing-masing dengan dampak yang semakin besar pada harga minyak global.
Dalam kasus yang paling parah, harga minyak dunia bisa melonjak hingga sekitar USD 130 per barel, yang mendorong inflasi AS mendekati 6 persen pada akhir tahun ini, kata Oxford dalam catatan tersebut.
"Meskipun guncangan harga pasti melemahkan belanja konsumen karena pukulan terhadap pendapatan riil, skala kenaikan inflasi dan kekhawatiran tentang potensi efek inflasi putaran kedua kemungkinan akan merusak peluang penurunan suku bunga di AS tahun ini," kata Oxford dalam catatan tersebut.
Adapun harga minyak mentah Brent sebagai acuan global tercatat naik sekitar 20 persen sepanjang Juni dan berpotensi mencetak lonjakan bulanan terbesar sejak 2020. Ini seiring meningkatnya ketegangan antara Israel dan Iran.
Lonjakan harga ini tetap menjadi sorotan, terutama setelah tiga tahun lalu invasi Rusia ke Ukraina memicu lonjakan harga energi yang berkontribusi pada inflasi global dan mendorong kenaikan suku bunga secara agresif.
Meskipun kenaikannya masih bertahap, selisih harga kontrak berjangka Brent untuk bulan depan dengan kontrak enam bulan ke depan sempat mencapai level tertinggi dalam 6 bulan. Ini mencerminkan kekhawatiran investor terhadap potensi gangguan pasokan dari kawasan Timur Tengah. Selisih ini tetap tinggi hingga Jumat lalu.
Dengan Brent diperdagangkan di kisaran USD 77 per barel, memang masih jauh di bawah puncaknya pada 2022 sebesar USD 139. Namun sudah mendekati titik yang dianggap menyakitkan bagi perekonomian.
“Kalau harga minyak menembus USD 80-100 dan bertahan di sana, itu bisa membahayakan ekonomi global. Saat ini kita masih sedikit di bawah ambang itu," ujar CIO ABN AMRO Solutions, Christophe Boucher.

Perhatian juga tertuju pada sektor pelayaran yang sering dianggap sebagai indikator utama energi. Sekitar 20 persen konsumsi minyak global melewati Selat Hormuz yang terletak antara Oman dan Iran. Jika jalur ini terganggu, harga minyak bisa menembus USD 100 per barel.
Pengalihan rute pelayaran juga bisa memperparah gangguan pasokan, apalagi jika peningkatan produksi dari OPEC+ tidak dapat menjangkau pasar internasional. Direktur Hedge Fund Svelland Capital, Nadia Martin Wiggen, mengatakan ia tengah memantau tarif pengiriman secara ketat.
“Sejauh ini, tarif pengiriman menunjukkan bahwa China yang memiliki kapasitas kilang cadangan terbesar di dunia itu belum melakukan panic buying karena kekhawatiran pasokan. Begitu China mulai membeli dalam jumlah besar, tarif pengiriman akan naik, dan harga energi global akan ikut terdongkrak,” jelasnya.
Inflasi Naik, Pertumbuhan Ekonomi Tertekan
Kenaikan harga minyak menimbulkan kekhawatiran karena bisa memicu inflasi jangka pendek, dan menekan pertumbuhan ekonomi akibat turunnya konsumsi.
Kepala Ekonom Lombard Odier, Samy Chaar, menyatakan harga minyak yang stabil di atas USD 100 bisa memangkas pertumbuhan ekonomi global sebesar 1 persen, dan menaikkan inflasi global sebesar 1 persen.
“Di Amerika Serikat, harga minyak USD 75 yang bertahan bisa meningkatkan proyeksi CPI kami sekitar setengah persen hingga akhir tahun, dari 3 persen menjadi 3,5 persen,” kata Kepala Ekonom RBC, Frances Donald.
Negara-negara seperti Turki, India, Pakistan, Maroko, dan sebagian besar Eropa Timur yang sangat tergantung pada impor minyak diperkirakan akan paling terdampak. Sebaliknya, negara-negara pengekspor seperti negara Teluk, Nigeria, Angola, Venezuela, serta sebagian Brasil, Kolombia, dan Meksiko akan mendapatkan tambahan pemasukan.