Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Fahri Hamzah meminta maaf atas kinerja Kementerian PKP yang masih 0 persen. Ia juga sudah menerangkan hal itu dalam laporannya kepada Kemenko Infrastruktur dan Pembangunan Kawasan (IPK), Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Fahri menjelaskan kinerja yang masih 0 persen meliputi beberapa program seperti renovasi rumah, penataan kawasan sampai Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum (PSU) perumahan.
“Terus terang aja, kita ini yang KPI kita aja itu kan masih 0, tadi saya minta maaf, saya laporkan tadi itu, karena untuk renovasi kan masih nol, penataan kawasan kan masih nol, PSU masih nol gitu,” kata Fahri saat ditemui di Kantor Kemenko IPK, Jakarta Pusat, Kamis (14/8).
Menurutnya, selama ini kinerja Kementerian PKP justru tak sesuai dengan Key Performance Indicator (KPI) yang seharusnya.
“Kita nampak sibuk ngurus CSR, ngurus macam-macam, padahal itu bukan KPI kita. Termasuk tadi yang ditanyakan (soal rumah subsidi 200 ribu unit) bukan KPI kita, itu kan (KPI) Tapera, institusi di luar kita, seharusnya kita fokus kepada apa yang seharusnya kita kerjakan sendiri sebagai KPI kita,” lanjut Fahri.
Selain itu, ia juga menyinggung BP Tapera terkait kinerja lembaga tersebut. Menurut Fahri, lembaga itu membuat Kementerian PKP menjadikan capaian FLPP sebagai hal yang disebutnya saat ini dibanggakan Kementerian PKP.
“Kayak Tapera ini kebanyakan ngebohongin Pak Menteri (Ara) gitu loh. Terus salah terus ini kan. Tapera itu kan institusi di luar kita kok kayak dia yang dominan, kayak FLPP segala-galanya loh. FLPP itu kan di luar kita,” ujar Fahri.
Menurut Fahri, tugas Kementerian PKP hanya membantu program FLPP agar anggaran untuk program tersebut bisa keluar dan dipindahkan ke BP Tapera.
“Cuma tapera itu menganggap seolah-olah ini pekerjaan Kementerian. Itu bohong dia. Termasuk dia memakai mekanisme untuk ngasih kuota-kuota. Itu kan nggak boleh sembarangan,” kata Fahri.
Fahri juga menyinggung kriteria gaji masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) terkait akses terhadap rumah subsidi yang malah ditingkatkan. Menurutnya, rumah subsidi seharusnya berfokus pada MBR dengan gaji setara Upah Minimum Regional (UMR)
“Undang-undang Tapera itu, inti dari undang-undang tapera itu satu, dia ngurusin yang namanya UMR (buat rumah MBR). Urusannya UMR. Kok sekarang tiba-tiba didorong naik ke kelas menengah atas, sampai yang baru gaji Rp 14 juta,” ujarnya.
“Oh itu nggak boleh dong, Anda meninggalkan UMR dong. Harusnya ini yang dilayani, karena kita-kita inilah yang bergaji-gaji awal, yang disebut dengan MBR,” lanjutnya.