REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani menanggapi rilis data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan ekonomi Indonesia tumbuh 5,12 persen pada kuartal II 2025. Meskipun diakui hal itu menciptakan optimisme, Shinta menilai jangan terkecoh dengan data tersebut, sebab menurutnya daya beli masyarakat di lapangan belum benar-benar pulih.
“Kami tentu bersyukur bahwa pertumbuhan ekonomi kuartal II 2025 berhasil mencapai 5,12 persen, lebih tinggi dari ekspektasi pasar. Di tengah tantangan global dan domestik yang cukup kompleks, capaian ini memberi sinyal bahwa perekonomian Indonesia masih memiliki pondasi yang kuat,” kata Shinta dalam keterangannya kepada Republika, Selasa (5/8/2025).
Ia menyebut, hal itu menunjukkan ada daya tahan di beberapa sektor yang perlu diapresiasi. Termasuk peran stimulus fiskal pemerintah yang mulai terasa pada Juni lalu.
Pemerintah diketahui merancang berbagai program untuk menjaga konsumsi masyarakat selama masa libur sekolah. Mulai dari diskon transportasi umum, tarif tol, listrik rumah tangga, bantuan pangan dan sembako, hingga subsidi upah bagi 17 juta pekerja dan 3,4 juta guru honorer.
Hingga kemudian, BPS mencatat konsumsi rumah tangga memberikan kontribusi sebesar 54,25 persen dengan pertumbuhan 4,97 persen pada kuartal II 2025. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan rumah tangga, termasuk kebutuhan primer dan makanan, serta meningkatnya mobilitas masyarakat.
Aktivitas konsumsi juga terdorong oleh tingginya aktivitas pariwisata selama periode libur nasional dan hari besar keagamaan seperti Idul Fitri, Waisak, Isa Almasih, dan Idul Adha, yang turut mendorong sektor restoran dan hotel.
Kendati data menunjukkan pertumbuhan ekonomi bergerak positif pada kuartal II 2025, Shinta menilai perlunya membaca data secara utuh. Sebab, data tersebut tidak sepenuhnya merepresentasikan kondisi di lapangan.
“Pertumbuhan di atas 5 persen patut disambut dengan optimisme, tetapi jangan sampai membuat kita terlena dengan catatan di lapangan. Daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih, konsumsi rumah tangga masih di bawah rata-rata historis, dan sektor manufaktur masih dalam fase kontraksi,” ungkapnya.
Menurut Shinta, menjaga pertumbuhan ekonomi tahunan di kisaran 5 persen sebenarnya masih terbuka atau masih cukup potensial. Hanya saja perlu upaya yang konsisten dan strategis dari Pemerintah dalam mendorong daya beli masyarakat.
“Itu sangat bergantung pada langkah lanjutan Pemerintah dalam menjaga daya beli masyarakat, mempercepat realisasi belanja, memperkuat ekspor, dan memastikan iklim usaha tetap kondusif untuk mendorong investasi,” jelasnya.