Ekonom merespons kebijakan Pemerintah Pusat dalam RAPBN 2026 yang memangkas alokasi dana transfer ke daerah (TKD) menjadi Rp 650 triliun. Jumlah ini turun jauh dibandingkan APBN 2025 yang mencapai Rp 919 triliun.
Ekonom Senior Indef, Tauhid Ahmad, menilai pemangkasan TKD dalam RAPBN 2026 bukan sekadar penyesuaian, melainkan penurunan yang cukup tajam. Ia membandingkan tren sebelumnya, di mana kenaikan belanja pemerintah pusat biasanya diikuti dengan peningkatan alokasi untuk daerah.
“Ya, saya kira kalau kita lihat kan turunnya hampir 20 (persen) yang biasanya di atas Rp 900 triliun, ya. Dan biasanya kalau APBN naik, transfer ke daerah ikutin naik, gitu. Jadi kalau porsi APBN biasanya naik 5-6 persen atau bahkan 7 persen, daerah juga biasanya ngikutin,” ujar Tauhid saat dihubungi kumparan, Sabtu (23/8).
Tauhid menekankan, penurunan TKD akan memberi konsekuensi besar terhadap kemampuan fiskal daerah. Kata dia, ruang fiskal pemerintah daerah bakal semakin terbatas untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, terutama di wilayah yang pertumbuhan ekonominya sangat bergantung pada belanja pemerintah.
“Jadi daerah-daerah yang sangat mengandalkan APBN masih akan sangat terasa sekali bedanya, begitu. Apalagi mereka juga punya, katakanlah, target-target pembangunan daerah, begitu ya. Terutama untuk visi-visi kepala daerah, termasuk menjalankan tugas dan mandat pusat yang dilakukan oleh daerah, begitu ya," ujar Tauhid.
Tauhid menjelaskan sebagian besar alokasi TKD di daerah selama ini habis untuk belanja pegawai. Dia juga mengingatkan adanya potensi dampak lanjutan, khususnya terhadap tenaga honorer, jika pemerintah daerah dipaksa melakukan efisiensi lebih ketat.
“Termasuk misalnya nanti khawatirnya kalau ada tenaga honorer dan sebagainya yang kemudian terpaksa pemerintah daerah akan melakukan efisiensi, begitu,” imbuhnya.
Tauhid juga menyoroti alasan pemerintah pusat yang menyebut sejumlah program akan langsung ditangani pusat, seperti irigasi, persampahan, preservasi jalan, Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih, hingga Makan Bergizi Gratis. Ia memandang, tak semua program tersebut seharusnya ditarik ke pusat karena sebagian justru lebih tepat dikelola daerah.
“Kalau jalan nasional memang ketahuan jawab pusat begitu ya. Makan bergizi gratis malah harusnya itu bisa didaerahkan. Ada partisipasi dan sebagainya, jangan diambil oleh pusat. Walaupun jumlahnya besar, itu kan akan juga berdampak ke daerah,” tambahnya.
Sementara itu, Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Eddy Junarsin menilai dampak penurunan transfer ke daerah akan bervariasi antarwilayah, bergantung struktur ekonomi masing-masing daerah. Ia mencontohkan kasus Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang mengalami penurunan anggaran keistimewaan hingga separuh.
“Misalnya, penurunan anggaran keistimewaan untuk Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dari Rp 1 triliun ke Rp 500 miliar. Memang dari persentase penurunan, itu berarti 50 persen. Hanya saja jika dibandingkan PDRB DIY, itu masih bisa dikatakan moderat. Di daerah lain, magnitude yang dirasakan bisa lebih besar atau lebih kecil, sehingga kebijakan untuk menyesuaikan diri juga berbeda,” kata Eddy.