
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum menegaskan setiap para pelaku usaha yang memutar lagu di ruang publik wajib membayar royalti kepada pencipta dan pemilih hak terkait. Ruang usaha yang dimaksud termasuk restoran, kafe, toko, pusat kebugaran (gym), dan hotel.
Hal ini berlaku meskipun pelaku usaha telah berlangganan layanan seperti Spotify, YouTube Premium, Apple Music, atau layanan streaming lainnya.
"Layanan streaming bersifat personal. Ketika musik diperdengarkan kepada publik di ruang usaha, itu sudah masuk kategori penggunaan komersial, sehingga dibutuhkan lisensi tambahan melalui mekanisme yang sah," kata Direktur Hak Cipta dan Desain Industri, Agung Damarsasongko, dalam keterangannya, Senin (28/7).
Agung tak menampik bahwa aturan ini memunculkan kekhawatiran pelaku usaha untuk menolak memutar lagu Indonesia demi menghindari pembayaran royalti. Namun, Agung mengingatkan bahwa hal tersebut malah akan melemahkan ekosistem industri musik lokal.
"Ketika pelaku usaha enggan memberikan apresiasi yang layak kepada pencipta lagu Indonesia, yang dirugikan bukan hanya seniman, tetapi juga konsumen dan iklim kreatif nasional secara keseluruhan,” ucapnya.
Dia pun mengingatkan bahwa alternatif lain seperti pemutaran musik instrumental bebas lisensi atau lagu dari luar negeri, pelaku usaha tetap perlu berhati-hati.
“Termasuk lagu luar negeri jika mereka dilindungi hak cipta, kewajiban royalti tetap berlaku,” katanya.
Solusi Bebas Royalti
Agung menjelaskan, para pelaku usaha yang tak memiliki modal untuk membayar royalti bisa menggunakan musik yang bebas lisensi atau musik dengan lisensi creative commons.
Dia menambahkan, pelaku usaha juga bisa saja memutar lagu ciptaannya sendiri atau bahkan bekerja sama dengan musisi independen yang bersedia memberikan izin tanpa biaya.
Namun demikian, dia menekankan, tak semua lagu yang diklaim bebas lisensi benar-benar gratis. Oleh karenanya, para pelaku usaha diminta agar melakukan verifikasi mendalam lebih dulu.
“Tidak semua musik instrumental bebas dari perlindungan hak cipta. Beberapa lagu yang diklaim 'no copyright' justru bisa menjerat pelaku usaha dalam pelanggaran apabila digunakan tanpa verifikasi sumber," ungkap Agung.
Skema Pembayaran Royalti
Pembayaran royalti ini juga diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2014 dan PP Nomor 56 Tahun 2021. Dalam aturan itu, pembayaran royalti dapat dilakukan melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
LMKN ini nantinya akan menghimpun dan mendistribusikan royalti kepada para pencipta dan pemilik hak terkait. Skema ini dapat memberikan transparansi dan keadilan bagi industri musik.
Awalnya, pelaku usaha dapat mendaftarkan tempat usahanya melalui sistem digital LMKN. Biaya yang harus dibayar nantinya akan ditentukan berdasarkan jenis usaha dan luas ruang pemutaran musik.
"Tujuan Indonesia bukan untuk menambah pemasukan negara, melainkan memberikan kepastian hukum serta memastikan bahwa pelaku industri kreatif mendapatkan hak ekonominya secara adil,” tutur dia.
Agung menambahkan, terdapat pula mekanisme untuk mengajukan keringanan pembayaran royalti bagi pelaku UMKM.
“Kami mengimbau pelaku UMKM untuk mengajukan permohonan keringanan secara resmi agar mendapatkan perlindungan hukum sekaligus mendukung ekosistem musik nasional,” jelasnya.
Terakhir, Agung mengingatkan, pelanggaran kewajiban pembayaran royalti dapat dikenakan sanksi hukum. Proses hukumnya akan diawali dengan mediasi lebih dulu.
“Pelindungan hak cipta bukan semata soal kewajiban hukum, tapi bentuk penghargaan nyata terhadap kerja keras para pencipta yang memberi nilai tambah pada pengalaman usaha Anda,” tutupnya.