Pemerintah Singapura berencana menerapkan larangan penggunaan vape atau rokok elektrik di negaranya, bagaimana dengan Indonesia? (ilustrasi)
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Baru-baru ini, Pemerintah Singapura berencana menerapkan larangan penggunaan vape atau rokok elektrik di negaranya. Singapura akan memperlakukan kegiatan vaping seperti menggunakan narkoba dan meningkatkan penegakan hukum.
Langkah pemerintah Singapura ini diluncurkan di tengah merajalelanya penggunaan vape di kalangan anak muda. “Sejauh ini kami memperlakukan vaping seperti tembakau, paling banter hanya dengan denda. Tapi itu tidak lagi cukup,” kata Perdana Menteri Lawrence Wong beberapa waktu lalu, seperti dikutip dari laman Channel News Asia.
Wong menegaskan, pihak berwenang akan menjatuhkan hukuman yang lebih berat, termasuk hukuman penjara, terutama bagi penjual vape dengan kandungan zat berbahaya. Selain itu, pemerintah juga akan menggalakkan kampanye edukasi publik secara besar-besaran, dimulai dari sekolah, perguruan tinggi, hingga selama wajib militer.
Dalam pidatonya, Wong menyinggung generasi muda Singapura saat ini menikmati lebih banyak kesempatan dibanding sebelumnya. Namun, mereka juga menghadapi tantangan baru yang lebih kompleks.
“Setiap generasi khawatir tentang pengaruh negatif terhadap anak muda. Dulu, komik dan musik rock dipandang berbahaya. Sekarang tidak ada yang menganggapnya demikian. Tapi ada risiko baru, dan beberapa di antaranya nyata,” ujarnya.
Vaping menjadi salah satu kekhawatiran utama. Meski dilarang, vape tetap banyak diselundupkan. Sebagian bahkan dicampur zat adiktif berbahaya, termasuk etomidate, anestesi yang bisa berbahaya jika digunakan di luar lingkungan medis.
Vape yang dicampur etomidate dikenal dengan sebutan Kpod, yang belakangan ramai diperbincangkan di Singapura. "Vape itu sendiri hanyalah alat penghantar. Bahaya sebenarnya ada pada isinya. Saat ini masalahnya etomidate. Di masa depan bisa jadi obat yang lebih buruk, lebih kuat, dan jauh lebih berbahaya,” kata Wong.
sumber : Antara