Darah, Tanah, dan Fitrah

1 hour ago 2
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online

Oleh : Achmad Tshofawie; Kordinator Eco-Fitrah, peminat kajian strategis

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejarah manusia selalu bergulat dengan tanah. Tanah adalah tempat lahir, sumber pangan, ruang tinggal, hingga peristirahatan terakhir. Tak heran jika konflik terbesar umat manusia sering kali berakar pada perebutan tanah. Kini, di abad ke-21, perebutan itu kembali hadir dalam wajah modern: land grabbing.

Korporasi global membeli atau menyewa jutaan hektar lahan pertanian di Asia, Afrika, dan Amerika Latin untuk kepentingan industri pangan, energi, atau pertambangan. Rakyat lokal kerap terpinggirkan, sementara air, hutan, dan tanah subur berpindah tangan ke perusahaan transnasional.

Dalam konteks inilah, menarik untuk meninjau ulang semboyan "Blut und Boden"-sebuah istilah Jerman yang secara harfiah berarti “Darah dan Tanah”. Di era Nazi, istilah ini dipelintir menjadi dasar ideologi rasis: hanya mereka yang dianggap “ras murni” berhak atas tanah Jerman.

Namun, apakah semboyan ini mutlak harus dibuang ke tong sampah sejarah? Atau justru masih ada sisi reflektif yang bisa dipetik—bukan untuk meniru fasisme, melainkan untuk membangkitkan kembali patriotisme ekologis di Tanah Air kita?

Darah: Identitas,Sejarah, dan Kedaulatan

“Darah” dalam semboyan itu bisa kita pahami bukan sebagai simbol rasial, tetapi sebagai identitas dan sejarah perjuangan bangsa. Darah mengingatkan pada pengorbanan para pahlawan yang merebut tanah air dari kolonialisme.

Darah juga melambangkan ikatan biologis kita dengan bumi-sebagaimana Alquran menegaskan bahwa manusia diciptakan dari tanah (QS. Al-Mu’minun:12). Dengan demikian, “darah” di sini bukan eksklusivitas etnis, melainkan fitrah kemanusiaan: bahwa setiap orang memiliki ikatan hidup dengan tanah tempat ia berpijak.

Dalam konteks Indonesia, “darah” berarti kesadaran bahwa kedaulatan pangan dan energi adalah harga mati. Jika tanah dan air kita dieksploitasi oleh korporasi asing, sesungguhnya kita sedang “ditransfusi” oleh darah orang lain-kehilangan denyut kehidupan sendiri. Patriotisme sejati berarti berani menjaga denyut nadi bangsa ini tetap mengalir dari sumber-sumber aslinya.

Tanah: Ibu Kehidupan dan Ekologi Fitrah

“Tanah” adalah ibu kehidupan.Ia menumbuhkan beragam jenis tanaman padi, jagung, kedelai, kopi, rempah,dll-semua yang menjadi identitas kuliner sekaligus ekonomi bangsa. Tanah juga menyimpan air, menjaga keseimbangan ekosistem, dan menyuburkan hutan.

Dalam tradisi Nusantara, tanah selalu disakralkan: ada istilah tanah tumpah darah, tanah pusaka, hingga ungkapan sawah ladang adalah ibu kehidupan. Alquran juga menyebut tanah yang baik (al-ardh at-thayyibah) akan menumbuhkan tanaman yang subur dengan izin Allah (QS. Al-A‘raf:58). Inilah yang disebut mizan-keseimbangan kosmik yang harus dijaga.

Namun, kapitalisme global melihat tanah sekadar sebagai komoditas. Sawah berubah menjadi kawasan industri, hutan menjadi perkebunan monokultur, dan gunung dikeruk untuk tambang. Padahal, tanah adalah ruang hidup, bukan sekadar aset. Di sinilah patriotisme tanah air harus muncul: tanah bukan untuk dijual, tetapi untuk dikelola dengan cinta dan tanggung jawab.

Membaca Ulang Blut und Boden: Dari Fasisme ke Eco-Patriotisme

Memang, kita tidak bisa menafikan sejarah kelam semboyan Blut und Boden. Namun, jika didekonstruksi, kita menemukan pesan tersirat yang masih relevan: manusia tidak bisa

dipisahkan dari tanah. Di Indonesia, pembacaan ulang semboyan ini justru bisa menjadi mantra kebangkitan eco-fitrah.

Alih-alih rasisme, mari jadikan ia sebagai, pertama-tama sebagai seruan ekologis. Darah adalah kehidupan, tanah adalah sumbernya. Maka siapa pun yang hidup di bumi Indonesia wajib menjaga keseimbangan alam.

Selanjutnya sebagai seruan kedaulatan pangan. Tanah kita jangan dikuasai oleh asing; sawah dan ladang harus memberi makan anak bangsa sendiri terlebih dahulu.

Kemudian seruan spiritual. Tanah adalah amanah dari Allah, bukan sekadar aset ekonomi.

Mengkhianati tanah berarti mengkhianati fitrah penciptaan.

Dengan demikian, Blut und Boden tidak lagi menjadi jargon fasis, tetapi ditransformasi menjadi “Fitrah dan Tanah Air”-sebuah etos yang relevan dengan perjuangan melawan land grabbing dan dominasi korporasi asing.

Patriotisme Tanah Air: Dari Retorika ke Aksi

Patriotisme tanah air bukan sekadar menyanyikan lagu kebangsaan di upacara. Ia harus diwujudkan dalam aksi nyata. Pertama sebagai reforma agraria sejati. Yakni, memberikan akses tanah kepada petani kecil, bukan kepada korporasi.

Kemudian agrofitrah. Yakni menghidupkan kembali sistem pertanian organik, agroekologi, dan kearifan lokal yang menyatu dengan tanah.

Ketiga, kedaulatan air dan energi. Air, sungai, dan sumber energi harus dikelola negara untuk rakyat, bukan dijual kepada swasta asing.

Kempat, sebagai pendidikan ekologis. Generasi penerus harus diajarkan bahwa mencintai tanah air bukan hanya soal sejarah perang, tapi juga menjaga ekosistem sungai,danau, laut,hutan, dan sawah.

Terakhir, gerakan konsumen patriotik. Yakni, memilih produk pangan lokal, menolak dominasi impor, dan menghidupkan kembali pasar rakyat.

Dari Darah ke Tanah, Dari Fitrah ke Patriotisme

Spirit Blut und Boden memang pernah disalahgunakan untuk menindas. Tetapi di tangan bangsa yang merdeka, semboyan ini bisa dibaca ulang sebagai panggilan patriotisme ekologis. Darah berarti kehidupan yang diwariskan para pejuang. Tanah berarti ruang hidup yang harus dijaga. Fitrah berarti keseimbangan yang dititipkan Allah kepada manusia.

Maka, di tengah gempuran land grabbing, eksploitasi tambang, dan krisis ekologi global, mari kita kembalikan patriotisme tanah air bukan hanya dalam retorika, tetapi dalam praktik menjaga tanah, air, dan hutan Indonesia untuk generasi mendatang.

Karena sejatinya, bangsa tanpa tanah adalah bangsa tanpa darah.

Read Entire Article