Danantara Indonesia mulai menyusun langkah restrukturisasi utang jumbo proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB). Agenda tersebut masuk ke dalam salah satu dari 22 program kerja strategis yang tercantum dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) 2025.
Restrukturisasi ini dinilai krusial karena proyek kereta cepat dengan nama Whoosh tersebut, menyedot dana jumbo dan kini menimbulkan beban keuangan yang cukup besar bagi konsorsium pengelola.
CEO Danantara Indonesia, Rosan Roeslani, mengaku tengah mengevaluasi secara menyeluruh skema penyelesaian utang KCJB. Menurut dia, Danantara ingin memastikan setiap aksi korporasi yang dilakukan bersifat menyelesaikan masalah secara permanen, bukan sekadar menundanya.
"Ya sama juga kita sedang evaluasi ini, dan kita mau memastikan supaya ini bisa. Kalau kita melakukan suatu corporate action itu tuntas gitu ya. Jadi bukan hanya sifatnya menunda masalah gitu,” kata Rosan di Kantor Kemenko Perekonomian, Selasa (5/8).
“Jadi kita akan lakukan, nanti pada saatnya kita akan umumkan langkah-langkah kita dalam langkah kita merestrukturisasi dari KCIC atau Whoosh ini,” katanya.
Sebelumnya, Chief Operating Officer (COO) Danantara Indonesia, Dony Oskaria, juga mengungkapkan bahwa pihaknya tengah merumuskan beberapa opsi restrukturisasi yang akan ditawarkan kepada pemerintah. Ia menegaskan, proses ini sedang dipikirkan secara matang sebelum usulan resmi disampaikan.
"Kereta cepat ini sedang kita pikirkan dan segera akan kita usulkan nanti. Tapi kan solusinya masih ada beberapa alternatif yang akan kita tawar, kita sampaikan kepada pemerintah mengenai penyelesaian daripada kereta cepat ini," kata Dony saat ditemui di kompleks parlemen Senayan, Rabu (23/7).
Operator KCJB yakni PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) merupakan perusahaan patungan antara konsorsium BUMN PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI), dan konsorsium perusahaan perkeretaapian China melalui Beijing Yawan HSR Co. Ltd.
Adapun komposisi pemegang saham PSBI adalah PT Kereta Api Indonesia (Persero) sebesar 51,37 persen, PT Wijaya Karya (Persero) Tbk 39,12 persen, PT Perkebunan Nusantara I 1,21 persen, dan PT Jasa Marga (Persero) Tbk 8,30 persen. Sementara dari pihak China, Beijing Yawan HSR Co. Ltd terdiri dari CREC 42,88 persen, Sinohydro 30 persen, CRRC 12 persen, CRSC 10,12 persen, dan CRIC 5 persen.
Proyek kereta cepat ini juga mendapatkan pendanaan besar dari China Development Bank (CDB). Sekitar 75 persen kebutuhan pembiayaan proyek berasal dari pinjaman lembaga tersebut, dengan nilai yang diperkirakan mencapai Rp 6,98 triliun.
"Operasionalnya kan sedang kita lihat bagaimana nanti solusi jangka panjangnya mengenai utang-utang daripada konsorsium ini yang cukup besar ya. Ini yang nanti akan kita sampaikan," ujar Dony.