
Kejaksaan Agung juga melimpahkan tersangka dan barang bukti kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang menjerat pengacara Ariyanto Bakri ke Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Ada sederet aset milik Ariyanto yang telah disita dan kini dijadikan batang bukti.
Adapun kasus TPPU ini merupakan pengembangan dari perkara suap vonis lepas korupsi CPO. Dalam kasus TPPU itu, Ariyanto dijerat bersama rekan pengacaranya, Marcella Santoso.
"Barang bukti yang dilimpahkan penyidik kepada JPU yaitu barang bukti yang disita dari tersangka Ariyanto terkait dengan perkara TPPU," kata Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Safrianto Zuriat Putra, dalam jumpa pers, Senin (7/7).
Berikut daftar aset Ariyanto yang dijadikan barang bukti:
2 unit kapal wisata asing
12 unit mobil
22 unit sepeda motor
20 unit jam tangan
147 unit helm
22 unit sepeda
Uang tunai 1.500 lembar SGD pecahan 100
Uang tunai 1.000 lembar Euro pecahan 50
Uang tunai 2.900 lembar USD pecahan 100
Uang tunai 4.000 lembar SGD pecahan 100







Dalam kasus suap vonis lepas, Ariyanto dijerat sebagai tersangka bersama dua rekan pengacaranya, Marcella Santoso dan Junaedi Saibih; serta pihak legal Wilmar Group, Muhammad Syafei.
Mereka diduga Muhammad Arif Nuryanta (mantan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) dan Wahyu Gunawan (mantan Panitera Muda PN Jakpus) serta majelis hakim yang menyidangkan korporasi terdakwa CPO: Djuyamto, Agam Syarif, dan Ali Muhtarom.
Muhammad Arif Nuryanta diduga menerima Rp 60 miliar dari Ariyanto dan Marcella ketika masih menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat. Uang tersebut disebut berasal dari korporasi Wilmar Group.
Penyerahan uang kepada Arif tersebut diberikan melalui seorang panitera, Wahyu Gunawan. Setelah uang tersebut diterima, Wahyu kemudian mendapat jatah sebesar USD 50 ribu sebagai jasa penghubung.
Arif kemudian menunjuk susunan majelis hakim yang akan menangani perkara korupsi CPO tersebut.
Kemudian, Arif diduga membagi uang suap tersebut kepada majelis hakim dalam dua tahap. Pertama, Arif memberikan total Rp 4,5 miliar kepada ketiganya sebagai uang baca berkas perkara.
Kemudian, Arif kembali menyerahkan uang sebesar Rp 18 miliar kepada Djuyamto dkk agar memberikan vonis lepas kepada para terdakwa. Djuyamto diduga menerima bagian sebesar Rp 6 miliar.
Adapun dalam putusannya terkait kasus persetujuan ekspor CPO itu, Majelis Hakim menyatakan para terdakwa korporasi itu terbukti melakukan perbuatan sebagaimana dalam dakwaan. Namun, Hakim menilai bahwa perbuatan tersebut bukan korupsi.
Majelis Hakim kemudian menjatuhkan vonis lepas atau ontslag dan terbebas dari tuntutan pembayaran uang pengganti sebesar Rp 17 triliun.
Belum ada keterangan dari para terdakwa korporasi CPO maupun para tersangka pengaturan vonis perkara persetujuan ekspor CPO mengenai kasus dugaan suap tersebut.
Di sisi lain, Kejagung saat ini juga tengah mengembangkan adanya dugaan perintangan penyidikan suap vonis lepas CPO ini. Dalam kasus itu, sudah ada 4 tersangka, yakni pengacara Marcella Santoso dan Junaedi Saibih; eks Direktur JakTV Tian Bahtiar; dan Ketua Tim Cyber Army, M. Adhiya Muzakki.
Marcella dan Junaedi disebut bersekongkol dengan Tian serta Adhiya untuk menggiring opini publik agar citra Kejagung menjadi negatif. Hal ini dinilai telah mengganggu konsentrasi penyidik dalam mengusut perkara.
Tian diduga menyebarkan pemberitaan negatif melalui JakTV. Dia diduga mendapat bayaran dari Marcella dan Junaedi sebesar Rp 478,5 juta.
Sementara Adhiya menyebarkan opini negatif tentang Kejagung dengan mengerahkan 150 orang buzzer. Total ada Rp 864,5 juta yang telah diterima Adhiya terkait aksinya itu.
Belum ada keterangan dari Ariyanto mengenai kasus yang menjeratnya serta aset yang disita Kejagung.