
Pemerintah dan DPR kembali membahas rencana pengenaan cukai atas minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026.
Kebijakan ini masuk dalam deretan strategi untuk memperluas objek cukai demi mendorong penerimaan negara secara optimal.
"Ekstensifikasi barang kena cukai (BKC) antara lain melalui penambahan objek cukai baru berupa MBDK," kata Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, dalam rapat kerja bersama pemerintah, Senin (7/7).
Rencana itu turut diikuti dengan kenaikan target penerimaan bea dan cukai menjadi 1,18 persen hingga 1,30 persen terhadap PDB dalam RAPBN 2026. Sebelumnya, target dalam dokumen KEM-PPKF hanya berada di rentang 1,18 persen sampai 1,21 persen.
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Fauzi Amro ikut menjelaskan bahwa target penerimaan dari cukai MBDK bisa menambah pundi-pundi negara hingga triliunan rupiah. Dengan syarat regulasinya harus jelas dan tidak menimbulkan multitafsir di masyarakat.
"MBDK targetnya yang 6 persen. Untuk minuman yang pemanisnya 6 persen , yang dalam, enggak yang kandungan gulanya 6 persen. Yang 6 persen terus yang berkemasan yang sudah ada BPOM. Nah ini akan menambah objek pajak kurang lebih Rp 5-6 triliun,” ungkapnya.
Namun, kata Fauzi, implementasi kebijakan ini tergantung pada sikap pemerintah. Apakah akan dijalankan mulai semester II 2025 atau tetap menunggu tahun 2026 seperti tertuang dalam RAPBN.

"Kalau kita bicara asumsi hari ini, ini asumsi yang digunakan untuk tahun 2026. Apakah bisa berjalan di tahun 2025 semester 2, tergantung pemerintahnya,” katanya.
Ia mengingatkan, percepatan implementasi butuh sosialisasi yang matang. Supaya tak terjadi kesalahpahaman di masyarakat.
"Jangan sampai nanti orang makan cendol dikenakan tarif. Nah ini kan ribut nantinya. Nah ini kan harus peraturan dari kementerian pajaknya harus disosialisasikan. Jangan multitafsir seperti itu,” ujar dia.
Fauzi menambahkan, jika pemerintah tidak memperluas basis pajak, penerimaan negara berpotensi melemah.
"Kalau pemerintah tidak melakukan sesuatu dengan objek pajaknya, maka penerimaan negara kita, kan asumsi Menteri Keuangan turun 94,9 kurang lebih 95 persen. Jadi turunnya 5 persen, 0,5 persen. Tapi kalau Menteri Keuangannya melakukan kreativitas menambah objek pajak baru dengan Dirjen yang baru, otomatis pendapatan negara kita bisa bertambah seperti itu,” jelas Fauzi.

Sementara itu, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai, Nirwala Dwi Heriyanto, mengingatkan bahwa implementasi cukai MBDK masih harus melihat situasi ekonomi. Ia menyebut kebijakan ini tidak semata demi penerimaan, tapi harus mempertimbangkan daya beli dan industri makanan-minuman.
"Tentunya masalah penerapan segala macam itu tentunya akan bicara dengan situasi ekonomi yang terjadi. Pertimbangannya banyak. Sama kayak rokok kemarin juga kenapa tarifnya tidak naik, hanya instrumen (harga jual eceran) HJE-nya yang dinaikkan. Itu banyak pertimbangan. Tidak semata-mata target penerimaan. Harus bicara kondisi perekonomian terupdate seperti apa,” kata Nirwala beberapa waktu lalu.
"Jadi memang pertimbangan ekonomi banyak ya. Misalnya termasuk daya beli masyarakat, kemudian keadaan industri minuman dan makanan itu sendiri," jelas Nirwala.