Catatan Cak AT: Bukan Sekadar 'Bubarkan DPR'

4 hours ago 1
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online
 Dok RUZKA INDONESIA) Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Bukan Sekedar 'Bubarkan DPR'. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Seorang anak bangsa bernama Affan Kurniawan, ojek online yang sehari-hari mengais rezeki di jalanan, akhirnya ditelan aspal Senayan, dilindas mobil rantis seberat 12 ton. Tragis, heroik, sekaligus ironis.

Ia bukan mati di medan perang lawan penjajah, melainkan di depan Gedung DPR —gedung yang katanya rumah rakyat, tapi entah rakyat yang mana. Dari sanalah slogan demonstrasi paling populer lahir: "Bubarkan DPR!"

Namun, seperti kata Mahfud MD, mantan Menko Polhukam yang hobi bicara normatif, tuntutan seperti itu mustahil. Parlemen adalah roh demokrasi.

"Terlalu berisiko dan mengada-ada kalau sampai minta DPR dibubarkan," katanya seraya menegaskan dirinya sedang bicara serius.

Baca juga: Keluarga Almarhum Affan Terima Rumah dari Presiden, Lokasinya di Cileungsi Bogor

Betul, tapi mungkin massa yang tumpah di Senayan itu tidak sedang bicara soal roh. Mereka bicara soal hantu.

Hantu DPR yang gentayangan di ruang rapat, menyedot anggaran, lalu menakut-nakuti rakyat dengan undang-undang yang tiba-tiba lahir tengah malam.

Bagi akademisi, "Bubarkan DPR" tentu hanya hiperbola politik. Sebuah ekspresi frustrasi massal. Dalam kajian komunikasi politik, itu disebut seruan delegitimasi simbolik —semacam teriakan ventilasi kolektif ketika ruang formal tak lagi dipercaya.

Data survei LSI bahkan menunjukkan titik nadir legitimasi rakyat pada Parlemen. Hanya sekitar seperempat rakyat Indonesia yang percaya DPR bekerja untuk kepentingan publik. Sisanya mungkin lebih percaya dukun kampung atau ustadz TikTok.

Baca juga: Masa Tantang Ketua DPRD Majalengka Baca Pancasila, Responsnya Bikin Tepuk Tangan Meriah

Jadi ketika rakyat berteriak, "Bubarkan DPR," mereka sejatinya tidak sedang bicara tentang membakar konsep perwakilan, melainkan tentang bubarkan serakahnomic, bubarkan mental bancakan, bubarkan keistimewaan. Hanya saja, rakyat di jalan tentu tidak sempat bikin catatan kaki.

Kalau kita perhatikan pola perusakan dalam demo belakangan ini, sebenarnya ada "teks politik" yang sedang ditulis dengan batu dan bensin. Coba Anda perhatikan. Rumah Ahmad Sahroni dkk dirusak, gedung DPRD dibakar, rumah Sri Mulyani diserang, kantor polisi dilempari. Ini sengaja disasar, bukan kebetulan.

Dalam analisis politik, sasaran itu adalah simbol. DPR dianggap lambang elite banci kompromi, DPRD hanya perpanjangan lidah pusat, Sri Mulyani personifikasi pajak dan utang yang mencekik, polisi wajah represi negara.

Kalau pemikir Slovenia Slavoj Žižek ada di Senayan sore itu menyaksikan demo, ia mungkin akan bilang: "Lihatlah, inilah bahasa terakhir ketika bahasa formal mati." Kekerasan massa adalah bahasa politik yang brutal, tapi sekaligus jujur.

Baca juga: Wali Kota Depok Supian Suri Pesan ke Para Ortu Agar Anaknya Tak Ikut Aksi Demo

Di balik puing-puing itu, sesungguhnya ada tuntutan nyata. Rakyat sudah muak dengan tontonan serakahnomic, sudah terlalu lama menunggu kapan DPR mengesahkan UU perampasan aset koruptor. Mereka sudah bosan dengan drama OTT yang ujungnya diskon vonis di pengadilan.

Mereka muak melihat anggota dewan menikmati tunjangan-tunjangan di tengah rakyat yang kantongnya menjerit akibat beras mahal. Mereka juga bertanya, kenapa maling ayam tidak boleh jadi ketua RT, tapi maling APBN bisa duduk manis di Senayan dan jadi komisaris, bahkan wakil menteri?

Lalu ada kemarahan terhadap polisi yang lebih sering melindungi penguasa ketimbang warga, dan ada kebencian pada kebijakan pajak yang naik ketika kantong rakyat makin bolong. Bahkan agenda jangka panjang ikut mencuat: makzulkan Gibran, kembali ke UUD 45 asli, benahi pengelolaan SDA dan BUMN.

Apakah semua ini realistis? Sebagiannya iya, sebagian lagi lebih mirip daftar belanja politik utopis. Tapi pesan utamanya jelas: kepercayaan rakyat berada di titik nadir. Jean-Jacques Rousseau pernah bilang, kontrak sosial runtuh kalau rakyat tak lagi percaya pada wakilnya.

Baca juga: Depok Kondusif, Sekolah Tidak Diliburkan, Belajar Seperti Biasa

Dan apa yang tersisa setelah kontrak sosial runtuh? Jawaban Rousseau, seolah mengutip pendapat Ibnu Khaldun: anarki. Rakyat mengamuk. Ironisnya, saat itu terjadi, negara kita lebih cepat melabeli rakyat "anarkis" ketimbang mencoba membaca teks politik di balik batu yang dilempar.

Jürgen Habermas mengingatkan bahwa demokrasi sejatinya lahir dari ruang publik —tempat rakyat bisa bicara, berdebat, dan menyampaikan aspirasi secara setara. Tetapi ruang publik di Indonesia makin menyempit. Parlemen tak lagi dipercaya sebagai forum deliberatif.

Di sini lain, media arus utama sibuk jadi corong elite, dan media sosial disesaki buzzer yang lebih rajin menggoreng isu ketimbang mengawal aspirasi. Maka jalanan menjadi ruang publik terakhir yang tersisa, meski dengan konsekuensi darah dan gas air mata.

Di sisi lain, Antonio Gramsci yang Markis menyebut hegemoni sebagai cara elite menguasai rakyat, bukan dengan kekerasan semata, tetapi lewat konsensus palsu. Maka, inilah yang kemudian terjadi: rakyat akhirnya sadar bahwa konsensus yang dibangun selama ini hanyalah ilusi.

Baca juga: Catatan Cak AT: Epitaf Urban ACAB 1312

Mereka diundang ke bilik suara lima tahun sekali, tapi yang terjadi kemudian mereka hanya jadi objek pajak, objek regulasi, dan objek represi. Ketika rakyat dicekik dengan ratusan jenis pajak, ketika hegemoni runtuh, yang muncul bukan sekadar kritik, tapi pemberontakan simbolik.

Maka tak mengherankan jika suara satir rakyat begitu tajam. "Kami para ojol tiap hari melawan order fiktif, kalian di DPR malah bikin undang-undang fiktif." Juga: "Kami rela panas-panasan demi ojek limabelas ribu, kalian terima gaji tujuh puluh juta tanpa pernah ngetem."

Jadi, apa sebenarnya tuntutan massa? Bukan sekadar "Bubarkan DPR" seperti slogan yang membahana di Senayan. Melainkan sebuah seruan lebih dalam: bubarkan drama DPR, dan hadirkan kembali demokrasi yang layak dipercaya.

Rakyat menginginkan demokrasi yang memberi ruang publik yang sejati, bukan ruang hampa yang penuh asap, gas air mata, dan janji-janji basi. (***)

Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 2/9/2025

Read Entire Article