Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II 2025 mencapai 5,12 persen secara tahunan atau year on year (yoy) dan tumbuh 4,04 persen secara kuartalan (quarter to quarter/qtq).
Realisasi pertumbuhan ekonomi secara tahunan tersebut lebih tinggi dibandingkan kuartal II 2024 sebesar 5,05 persen (yoy), dan lebih tinggi jika dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 4,87 persen (yoy).
Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS, Moh. Edy Mahmud, menjelaskan perekonomian Indonesia yang diukur berdasarkan besaran produk domestik bruto (PDB) pada kuartal II 2025 atas dasar harga berlaku mencapai Rp 5.947 triliun, sementara berdasarkan harga konstan mencapai Rp 3.396,3 triliun.
Sebelumnya, Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada kuartal II hanya mencapai 4,76 persen (yoy), turun dari 4,87 persen pada kuartal pertama. Pelemahan ini, kata Josua, utamanya disebabkan oleh normalisasi konsumsi pasca-Ramadan dan Idulfitri, serta mulai munculnya sinyal pelemahan keyakinan konsumen.
“Pertumbuhan ekonomi diproyeksikan akan melambat menjadi sekitar 4,76 persen (yoy) di 2Q25, dari sebelumnya 4,87 persen (yoy) pada kuartal pertama,” kata Josua kepada kumparan, Selasa (5/8).
“Perlambatan ini terutama disebabkan oleh normalisasi konsumsi masyarakat pasca periode Ramadan dan Idulfitri,” imbuhnya.
Kepala Ekonom Bank Mandiri, Andry Asmoro, memberikan proyeksi serupa. Ia memperkirakan ekonomi tumbuh 4,79 persen (yoy) di kuartal II, dengan dorongan utama berasal dari belanja pemerintah dan strategi ekspor menjelang penerapan tarif baru dari AS. Sementara dari sisi kuartalan, perekonomian diperkirakan tumbuh 3,71 persen (qoq).
“Konsumsi rumah tangga diperkirakan akan melemah karena faktor musiman dan perilaku belanja yang lebih selektif,” ujar Andry.
Ia juga menyoroti lemahnya penyaluran kredit produktif dan penjualan semen sebagai tanda bahwa pelaku usaha masih cenderung wait and see. Namun, pemulihan belanja sosial dan pengeluaran pegawai pemerintah menjadi faktor pendukung di sisi fiskal. Dari sisi ekspor, strategi front-loading diharapkan membantu mempertahankan surplus neraca perdagangan di tengah lesunya permintaan global.