Presiden Botswana Duma Boko mengumumkan negaranya darurat kesehatan nasional. Dikutip dari The Guardian, Kamis (28/8), pengumuman itu disampaikan dalam pidato yang disiarkan di televisi pada Senin (25/8).
Botswana saat ini kekurangan obat-obatan untuk mengobati hipertensi, diabetes, kanker, asma dan kondisi mata, serta kekurangan persediaan medis termasuk perban dan jahitan, dan untuk kesehatan seksual dan reproduksi.
Boko dalam pidatonya menyatakan kegagalan rantai pasokan medis dan mengumumkan pendanaan sebesar BWP 250 juta (sekitar Rp 303 miliar) untuk obat-obatan darurat yang distribusinya akan diawasi oleh militer.
Boko mengatakan, penyebab kegagalan rantai pasokan medis adalah penurunan pasar berlian global dan pemotongan bantuan AS yang berdampak pada keuangan negara.
Dia juga menyalahkan badan pengadaan medis negara Central Medical Stores (CMS), Sementara CMS juga menyalahkan pihak ketiga karena menaikkan harga obat-obatan hingga 10 kali lipat dari harga semestinya.
"Harga saat ini seringkali meningkat lima hingga 10 kali lipat. Dan dalam kondisi ekonomi saat ini, skenario ini tidak berkelanjutan," ujarnya.
Sebelum pengumuman ini, Kementerian Kesehatan Botswana pada 4 Agustus lalu mengungkapkan negara berutang BWP 1 miliar kepada fasilitas dan pasokan kesehatan swasta.
Menurut ahli dari Universitas Botswana Thabo Lucas Seleke, kondisi ini terjadi karena CMS terganggu oleh disfungsi, inersia, janji reformasi yang tidak terpenuhi, dan tuduhan korupsi.
"Ada laporan tahunan dari auditor jenderal,yang menandai catatan pengadaan yang tidak lengkap, kontrak yang hilang, dan keterlambatan pengiriman yang berulang," ujarnya.
Sejak Boko terpilih lagi pada Oktober 2024, pemerintahannya telah menyiapkan dana kepada CMS BWP sebesar 705 juta untuk obat-obatan yang dibutuhkan Botswana selama setahun. Namun, yang baru terlaksana kurang dari BWP 80 juta.
Kondisi itu semakin diperburuk dengan penurunan berlian, komoditas utama yang menjadi sumber keuangan negara, dalam 3 tahun terakhir. Dana Moneter Internasional menyebut pada 2024 Botswana masih belum bisa bangkit dari penurunan yang menyebabkan pemasukan mereka menyusut 3%.
Botswana juga memimpin dunia dalam penanggulangan HIV/AIDS. Pada 2000, satu dari delapan anak lahir dengan HIV. Pada tahun 2023, jumlahnya kurang dari 100.
Awal tahun ini, Botswana menjadi negara pertama dengan populasi HIV-positif tinggi yang dianugerahi status tingkat emas dari WHO karena berhasil menghilangkan penularan HIV dari ibu ke anak sebagai ancaman kesehatan masyarakat.
Namun, uang untuk membeli obat-obatan anti HIV itu sebagian besar adalah bantuan dari USAID. Saat pemerintah AS memotong dana bantuan asing, Botswana ikut terdampak
Sebelum pemotongan tersebut, UNAids mengungkapkan AS mendanai sekitar sepertiga dari respons HIV negara tersebut. Rinciannya adalah USD 55 juta (hampir Rp 9 ratus miliar) per tahun dari rencana darurat presiden AS untuk penanggulangan AIDS (Pepfar) dan USD 12 juta melalui Dana Global untuk Memerangi AIDS, Tuberkulosis, dan Malaria.