Sosok Irvian Bobby Mahendro menjadi sorotan dalam kasus pemerasan sertifikasi kesehatan dan keselamatan kerja (K3) di Kementerian Ketenagakerjaan. Dia diduga menjadi otak perbuatan tersebut.
Dia menjadi pihak yang menerima jatah paling besar dari hasil pemerasan, yakni Rp 69 miliar. Dari total Rp 81 miliar uang yang terkumpul.
Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker), Immanuel Ebenezer Gerungan atau Noel, bahkan menyebut Irvian sebagai 'Sultan'.
"IEG menyebut IBM sebagai Sultan, maksudnya orang yang banyak uang di Ditjen Binwas K3," ujar Ketua KPK Setyo Budiyanto saat dikonfirmasi, Sabtu (23/8).
Lantas, berapa harta kekayaan yang dimiliki Irvian?
Lapor LHKPN Terakhir 2022, Punya Harta Rp 3,9 M
Dalam situs resmi LHKPN KPK, tercatat hanya ada tiga laporan harta kekayaan milik Irvian Bobby Mahendro. Ia terakhir melaporkan hartanya ke KPK pada 2 Maret 2022 sebagai laporan khusus akhir menjabat sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Ditjen Binwasnaker dan K3 Kemnaker.
Dalam laporan itu, Irvian memiliki harta kekayaan sebesar Rp3.905.374.068 atau sekitar Rp 3,9 miliar. Berikut rinciannya:
Total harta: Rp 3.905.374.068.
Jumlah tersebut terlihat berbanding jauh dengan total uang yang diterima Irvian dalam kasus pemerasan pengurusan sertifikasi K3.
Dalam konferensi pers pengungkapan kasus tersebut, KPK mengungkapkan bahwa pemerasan ini terjadi pada 2019-2024.
KPK menjelaskan bahwa dalam proses penerbitan sertifikat tersebut, harganya dibuat mahal dan uangnya mengalir ke sejumlah pejabat. Nilainya tak tanggung-tanggung, yakni mencapai Rp 81 miliar.
Irvian pun tercatat merupakan ASN Kemnaker yang menjadi pihak penerima uang paling banyak, yakni Rp 69 miliar. Dia diduga sebagai otak pemerasan ini.
Uang tersebut digunakannya untuk belanja, hiburan, DP rumah, hingga setoran tunai kepada sejumlah pihak. Irvian juga diduga menggunakan uang itu untuk membeli mobil mewah.
Kasus Pemerasan Urus Sertifikasi K3
Dalam konferensi pers pengungkapan kasus tersebut, KPK mengungkapkan bahwa pemerasan ini terjadi pada 2019-2024.
KPK menjelaskan bahwa dalam proses penerbitan sertifikat tersebut, harganya dibuat mahal dan uangnya mengalir ke sejumlah pejabat. Nilainya tak tanggung-tanggung, yakni mencapai Rp 81 miliar.