
SOSIOLOG UIN Jakarta Tantan Hermansah menilai fenomena pengibaran bendera One Piece dapat mencerminkan paradoks dalam kehidupan berbangsa hari ini. Ia menyebut, paradoks tersebut bukan berada pada rakyat, melainkan di tataran kewarasan elite politik.
Menurutnya, para elite tidak hanya berbeda irama dalam memaknai simbol tersebut, tetapi juga memperlihatkan ketidaksinkronan antara pikiran dan tindakan mereka sendiri.
Kondisi ini, kata Tantan, memperlihatkan adanya dinamika internal yang belum sejalan dalam merespons pesan-pesan simbolik yang muncul di ruang publik.
"Ya, tapi paradoks dalam tataran kewarasan elit. Mereka bukan hanya tidak satu irama dalam memaknai hal ini, tetapi juga menunjukkan dinamika pikiran dan tindakan di kalangan mereka sendiri," ujarnya saat dihubungi, Jumat (8/8).
Ia menegaskan, kritik simbolik yang disampaikan publik sejatinya bukanlah ancaman bagi bangsa maupun negara. Justru, kritik semacam ini dapat menjadi pintu refleksi untuk memahami situasi yang sedang terjadi di masyarakat.
"Kritik simbolik yang disampaikan publik, sejatinya bukan sesuatu yang membahayakan bangsa dan negara. Justru dengan kritik simbolik, sebuah bangsa diajak untuk melakukan dua hal, merenung atas pesan yang tersembunyi dalam simbol tersebut, sambil memikirkan sebenarnya apa sedang terjadi sehingga muncul kritik seperti ini," jelasnya.
Lebih jauh, Tantan menilai, kemampuan membaca simbol adalah bentuk kecerdasan publik. Karena itu, reaksi yang berlebihan dan emosional dari kalangan elite justru menunjukkan keterbatasan dalam memahami kritik secara dewasa.
"Maka jika ditanggapi secara membabi buta dan kegerahan, berarti elite-elite tersebut kurang cerdas," pungkasnya. (Mir/P-2)