Menjelang perayaan Hari Kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia, pemandangan yang tak biasa menyita perhatian publik. Di berbagai kota, bendera bajak laut dengan lambang tengkorak tersenyum berbalut topi jerami, ikon dari tokoh utama serial One Piece, Monkey D. Luffy, berkibar di belakang truk-truk besar. Fenomena ini viral di media sosial, menimbulkan diskusi panas antara pengagum budaya pop dan penjaga nilai-nilai ideologi kebangsaan.
Simbol yang dikenal sebagai Jolly Roger itu bukan sekadar hiasan. Ia muncul sebagai metafora diam-diam, bentuk protes tanpa kata-kata, dan nyaris tak terdeteksi oleh radar konvensional pengawasan negara. Dalam ruang budaya pop, ini adalah bentuk komunikasi visual yang kuat, emosional, dan menyebar secara organik. Tidak ada struktur komando, tidak ada tokoh besar, tapi resonansinya sangat terasa di lapisan masyarakat yang frustrasi.
Gerakan pengibaran bendera Jolly Roger itu menunjukkan bagaimana budaya populer telah menjadi wahana perlawanan sipil. Berbeda dari demonstrasi atau tulisan ilmiah yang penuh jargon, simbol dari fiksi seperti One Piece berbicara kepada massa dengan bahasa yang mereka pahami dan cintai. Ia mengaburkan batas antara hiburan dan ekspresi politik, antara imajinasi dan kenyataan.
Namun, tidak sedikit pihak yang menyatakan kegelisahan. Bagi sebagian kalangan, penggunaan simbol bajak laut sebagai bendera di Hari Kemerdekaan adalah bentuk kemerosotan pemahaman terhadap ideologi negara. Mereka melihat tindakan itu sebagai provokasi dan degradasi nilai patriotisme, terlebih saat posisi bendera negara potensial disubordinasikan.
Dari perspektif hukum, pengibaran bendera non-negara, apalagi lebih tinggi dari sang Saka Merah Putih, bertentangan dengan UU No. 24 Tahun 2009, yang mengatur tentang penggunaan Bendera Negara. Hukum memang menjaga simbol, tetapi budaya pop tak selalu bisa dibatasi dengan regulasi formal. Di sinilah friksi antara realitas politik dan ekspresi budaya menemui titik konflik.
Kita menyaksikan benturan antara simbol resmi negara dan simbol-simbol tandingan dari dunia fiksi. Ini bukan hal baru. Sejak dahulu, budaya populer sering menjadi kanal aman bagi masyarakat untuk mengartikulasikan kekecewaan mereka terhadap ketidakadilan, tanpa harus menyampaikan secara eksplisit.
Latar belakang protes ini tidak muncul dari ruang hampa. Narasi dalam One Piece mencerminkan ketimpangan sosial, korupsi kekuasaan, dan penindasan, sebagaimana yang diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Tenryuubito. Penonton yang menginternalisasi kisah itu dengan mudah merefleksikannya pada kondisi Indonesia, di mana pejabat hidup mewah, sementara rakyat berjuang setiap hari.
Simbol bajak laut dalam One Piece bukanlah simbol kriminalitas, melainkan simbol kebebasan, idealisme, dan perlawanan terhadap sistem yang opresif. Maka ketika bendera Topi Jerami dikibarkan, ia membawa semangat untuk "mencari keadilan di lautan luas", bukan semata untuk menertawakan simbol negara.
Fenomena ini juga menunjukkan bahwa generasi muda Indonesia memiliki cara sendiri dalam menyampaikan aspirasi. Ketika ruang politik formal membatasi ekspresi dan media massa terlalu terpolarisasi, mereka memilih jalur kreatif yang menyatu dengan identitas digital mereka, melalui anime, meme, cosplay, dan simbol fandom.
Fenomena ini tidak dimobilisasi oleh partai, tokoh, atau ormas. Laporan dari Drone Emprit dan Evello memperlihatkan bahwa gelombang ini muncul secara organik. FOMO (Fear of Missing Out), sindiran halus, dan kritik yang terselubung dalam humor adalah bentuk baru dari narasi rakyat yang sudah jenuh.
Budaya pop dalam hal ini bukan “musuh negara”, melainkan alat komunikasi alternatif. Negara semestinya tidak reaktif terhadap bentuk ekspresi ini, tetapi mengambil momen ini sebagai refleksi, mengapa banyak warga merasa belum merdeka? Mengapa simbol bajak laut terasa lebih mewakili rakyat daripada simbol kenegaraan?
Sebagai negara yang telah 80 tahun merdeka, Indonesia perlu bertanya ulang, apakah kemerdekaan hanya perayaan seremonial, atau benar-benar terasa dalam kehidupan warga? Ketika bendera anime bisa menggantikan bendera negara di ruang simbolik masyarakat, ini sinyal bahwa legitimasi kultural negara sedang diuji.
Seruan untuk mengibarkan bendera Jolly Roger bukan hanya protes, tetapi juga refleksi keterputusan antara elite dan rakyat. Di dunia One Piece, para nakama saling mendukung satu sama lain untuk meraih cita-cita. Di dunia nyata, masyarak...