REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menanggapi pandangan Bank Indonesia (BI) yang terus mendorong perbankan untuk menurunkan bunga kreditnya, sejalan dengan kebijakan pemangkasan suku bunga acuan/BI Rate. OJK mengatakan, suku bunga kredit perbankan saat ini sebenarnya masih berada pada tren penurunan.
“Suku bunga kredit perbankan masih berada dalam tren menurun hingga Mei 2025. Secara tertimbang, suku bunga kredit tercatat turun 11 bps (yoy) dari 9,11 persen pada Mei 2024 menjadi 9 persen, didorong oleh penurunan suku bunga kredit produktif,” ujar Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae dalam keterangannya, dikutip Sabtu (2/8/2025).
Dian menjelaskan, di sisi lain, suku bunga dana pihak ketiga (DPK) secara tertimbang masih naik dari 2,81 persen pada Mei 2024 menjadi 2,88 persen pada Mei 2025.
“Hal tersebut menunjukkan bahwa meskipun terdapat peningkatan pada HPDK (harga pokok dana untuk kredit) yang memengaruhi peningkatan SBDK (suku bunga dasar kredit), bank lebih memprioritaskan untuk tetap menjaga kualitas kredit sehingga meningkatnya SBDK tidak membebani kemampuan membayar debitur,” jelasnya.
Dian menuturkan, secara umum, penurunan BI Rate akan diikuti penurunan suku bunga kredit dengan jeda waktu beberapa periode. BI diketahui telah menurunkan suku bunga tiga kali pada berjalannya tahun 2025, yakni pada Januari, Mei, dan Juli, hingga saat ini berada di level 5,25 persen.
“Dengan kata lain, suku bunga kredit diperkirakan masih akan menurun sebagai respons dari penurunan BI Rate pada 2025. Ditambah lagi, dengan ekspektasi penurunan suku bunga global di kuartal IV, OJK melihat bahwa masih terdapat ruang untuk penurunan suku bunga lebih lanjut,” ungkapnya.
Namun, Dian mengatakan, penurunannya tergantung pada struktur biaya masing-masing bank, terutama terkait dengan biaya dana (cost of fund/cof) dengan beberapa bank masih mengandalkan dana mahal (time deposit) karena pertumbuhan DPK melambat.
“Bank perlu mengelola strategi pendanaan mereka, khususnya dengan meningkatkan porsi dana murah, untuk menciptakan ruang penurunan bunga kredit yang lebih signifikan,” kata dia.
Dian menekankan, ketika suku bunga acuan tinggi, sulit bagi bank untuk menurunkan bunga simpanan tanpa mengorbankan likuiditas. Hal tersebut dapat berdampak pada tekanan terhadap net interest margin (NIM), terutama bagi bank yang masih bergantung pada dana mahal.
Selain itu, bank masih membentuk cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN), terutama untuk menghadapi potensi kenaikan risiko kredit yang mungkin muncul akibat gejolak perekonomian, sehingga mengakibatkan peningkatan risk premium. “Oleh karena itu, penurunan suku bunga kredit harus tetap mempertimbangkan prinsip kehati-hatian dan kondisi keuangan masing-masing bank, bukan pendekatan homogen,” tegasnya.
Hingga periode Mei 2025, OJK mencatat adanya perlambatan pada pertumbuhan kredit maupun DPK, yang turut memberi tekanan pada profitabilitas bank. Berdasarkan revisi laporan rencana bisnis bank (RBB) yang telah disampaikan, sebagian besar bank memang melakukan revisi sebagai penyesuaian terhadap kondisi perekonomian global dan domestik.
Secara umum, terdapat penyesuaian target menjadi lebih konservatif ke bawah target dalam RBB hasil revisi. Namun, terdapat beberapa bank yang meningkatkan target.
“Meski demikian, proyeksi OJK terhadap kinerja perbankan tahun 2025 masih relatif stabil dengan pertumbuhan laba yang diprediksi tetap tumbuh moderat. Hal ini sejalan dengan langkah bank untuk lebih selektif dalam ekspansi kredit, terutama pada segmen-segmen berisiko tinggi,” jelasnya.
Dian menegaskan, OJK terus memantau ketahanan perbankan di tengah ketidakpastian global yang memberi tekanan likuiditas. Serta mendorong bank untuk meningkatkan efisiensi operasional antara lain melalui sinergi antar bank dan penguatan digitalisasi perbankan.