REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tak ada satu pasangan pun yang mengharapkan pernikahan mereka berakhir dengan perceraian. Namun, bahtera rumah tangga bisa saja berakhir dengan talak karena satu atau lain hal.
Talak adalah sesuatu yang halal, tetapi dibenci Allah SWT. Meski begitu, tata cara perceraian tetap ada dan diatur dalam syariat Islam.
Sebab, talak membawa membawa konsekuensi yang tidak ringan, terutama yang menyangkut pengasuhan atas anak-anak. Siapa yang berhak mengasuk anak: ayah ataukah ibunya?
Terkait masalah ini, syariat Islam mengenal istilah hadlanah. Menurut Imam al-San'ani', terminologi itu berarti memelihara seorang anak yang belum (atau tidak) bisa mandiri. Makna lainnya ialah mendidik dan memelihara anak demi menghindarkan dirinya dari hal-hal yang bisa merusak dan mendatangkan mudarat.
Para ulama bersepakat, hak mengasuh anak yang belum dewasa (akil baligh) harus diutamakan kepada ibunya. Sebab, kaum perempuan dianggap lebih memiliki jiwa keibuan bila dibandingkan lelaki. Ketentuan ini pun memiliki dasar hukum yang kuat dalam syariat, yakni hadis Nabi Muhammad SAW.
"Seorang perempuan berkata kepada Rasulullah: 'Wahai Rasulullah, (tentang) anakku ini, aku yang mengandungnya, air susuku-lah yang diminumnya, dan di bilikku tempat berkumpulnya bersamaku. Ayahnya telah menceraikanku dan ingin memisahkannya dariku.'''
Maka Rasulullah SAW bersabda, ''Kamulah yang lebih berhak memeliharanya selama kamu tidak menikah" (HR Ahmad, Abu Dawud, dan al-Hakim mensahihkannya).
Zaitunah Subhan dalam bukunya, Menggagas Fikih Perempuan, memaknai hadis di atas sebagai ketentuan hukum dalam memberikan pengasuhan anak kepada ibu. Hadis ini juga menjadi dasar ketetapan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 105 yang menyangkut hak pemeliharaan anak.
Meski begitu, seorang ayah juga tak lepas dari kewajiban untuk menanggung biaya pemeliharaan anaknya. Tanggung jawab si bapak tidak lantas hilang hanya karena terjadinya perceraian.
Zaitunah menggarisbawahi salah satu poin penting dalam hadis Rasulullah SAW itu: ''selama kamu (yakni perempuan yang sudah bercerai) tidak menikah.''
Alhasil, tutur Zaitunah, seandainya si ibu menikah kembali, hak pengasuhan bisa tak berlaku lagi. Pemeliharaan anak pun dapat beralih kepada si ayah.
''Alasannya, bila ibu menikah lagi, besar kemungkinan perhatiannya akan beralih kepada suaminya yang baru, sehingga pengasuhan yang diberikan jadi kurang maksimal,'' tulis Zaitunah.