TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Pati, Jawa Tengah, resmi membentuk Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket untuk membahas pemakzulan Bupati Pati Sudewo. Pembentukan pansus tersebut bertepatan dengan aksi demonstrasi besar-besaran warga Pati yang menuntut Sudewo mundur dari jabatannya.
Langkah ini diambil karena Sudewo dinilai telah melanggar sumpah dan janji jabatan sebagai bupati. Salah satu isu utama yang dipersoalkan anggota DPRD adalah kebijakannya menaikkan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Lantas, hal apa saja yang membuat kepala daerah bisa dimakzulkan?
Pemberhentian seorang kepala daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah atau UU Pemda. Pasal 78 menyebutkan ada tiga sebab kepala daerah atau wakilnya bisa berhenti menjabat, yaitu karena meninggal, permintaan sendiri atau diberhentikan.
UU Pemda menetapkan bahwa kepala daerah dapat diberhentikan dari jabatannya apabila melanggar sejumlah ketentuan yang telah diatur. Beberapa alasan yang dapat menjadi dasar pemberhentian antara lain tidak mampu menjalankan tugasnya secara berturut-turut selama enam bulan penuh, melanggar sumpah dan janji jabatan, mengabaikan kewajiban sebagai kepala daerah, atau terlibat dalam perbuatan yang dianggap tercela.
Selain itu, pemakzulan juga dapat dilakukan jika terbukti kepala daerah menggunakan dokumen atau memberikan keterangan palsu sebagai persyaratan pada saat pencalonan. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjaga integritas, kredibilitas, dan akuntabilitas penyelenggara pemerintahan daerah, sekaligus memastikan bahwa kepala daerah yang menjabat benar-benar memenuhi syarat moral, hukum, dan administrasi sesuai peraturan perundang-undangan.
Guru Besar Institut Pendidikan Dalam Negeri (IPDN), Djohermansyah Djohan, mengatakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan pemakzulan adalah jika kepala daerah menimbulkan keresahan di antara masyarakat. "Kepala daerah dalam membuat kebijakan tidak boleh meresahkan masyarakat," kata dia saat dihubungi Tempo pada Rabu, 13 Agustus 2025.
Menurut Djohan, larangan membuat kebijakan yang menimbulkan keresahan dalam masyarakat juga tertulis dalam UU Pemda. Jika terbukti menimbulkan keresahan dan melanggar hukum, kepala daerah dapat dimakzulkan setelah melalui mekanisme pemberhentian.
Ketua Pansus Hak Angket DPRD Kabupaten Pati Teguh Bandang belum memastikan pemakzulan Sudewo dari jabatan Bupati Pati. “Kemungkinan seperti apa kami belum bisa menyampaikan,” kata Teguh di kantornya, kemarin. “Kalau memang terbukti dan bersalah pasti ada pemakzulan.”
Namun dia enggan berspekulasi apa hasil dari Pansus Hak Angket yang baru dibentuk tersebut. Teguh juga belum bisa memastikan kapan pansus akan mampu merampungkan kerjanya.
Teguh menjelaskan proses yang akan dilalui masih panjang. “Hasil dari pansus disampaikan di paripurna disetujui kemudian dikirim ke Mahkamah Agung. Setelah MA memutuskan ini bersalah, baru dikirim ke presiden atau Mendagri,” tuturnya.
Bupati Pati Sudewo mengatakan bahwa dirinya enggan mundur meskipun didemo oleh warganya pada Rabu, 13 Agustus 2025. "Kalau saya kan dipilih oleh rakyat secara konstitusional dan secara demokratis. Jadi tidak bisa saya berhenti dengan tuntutan itu. Semuanya ada mekanismenya," kata dia.
Sudewo mengatakan memahami tuntutan massa yang memintanya untuk lengser. Mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat itu mengatakan bakal memperbaiki cara kepemimpinannya. "Ini merupakan proses pembelajaran bagi saya karena juga baru saja beberapa bulan menjabat sebagai bupati. Masih banyak kekurangan, masih banyak kelemahan yang harus kami benahi ke depan," ucapnya.
Sudewo mengaku menghormati keputusan DPRD DPRD Pati yang membentuk Panitia Khusus Hak Angket pemakzulan. "Itu kan hak angket yang dimiliki DPRD. Jadi saya menghormati hak angket tersebut," ujar dia.