REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Judi online atau "judol" bukan hanya masalah sosial, tetapi juga ancaman serius bagi perekonomian Indonesia. Menurut data dari Dewan Ekonomi Nasional (DEN), aliran dana ke judi online pada tahun 2024 mencapai Rp 51 triliun, yang setara dengan penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 0,3 persen.
Anggota DEN, Firman Hidayat, menjelaskan bahwa angka Rp 51 triliun ini hanyalah "puncak gunung es" dari masalah judi online di Indonesia. Kerugian lain yang ditimbulkan termasuk potensi pajak yang hilang sebesar Rp 6,4 triliun dan penurunan belanja pendidikan keluarga pecandu judi sebesar 30 persen berdasarkan studi Badan Pusat Statistik (BPS).
"Dampak sosialnya jauh lebih mengerikan," ujar Firman Hidayat dalam acara Katadata Policy Dialogue bertema "Strategi Nasional Memerangi Kejahatan Finansial" di Jakarta, Selasa (5/8/2025).
Firman menambahkan, studi di Brazil menunjukkan pola serupa, di mana peningkatan pengeluaran untuk judi berbanding lurus dengan penurunan belanja untuk pendidikan dan kesehatan. Profil korbannya pun mirip: pria paruh baya dari kelas menengah ke bawah.
Data global juga menunjukkan 71 persen pemain judi online di Indonesia berpenghasilan sekitar Rp 5,1 juta per bulan. Mereka umumnya berusia 30-50 tahun dan tinggal di daerah kumuh.
Angka-angka ini diperparah dengan temuan bahwa pecandu judi 16 kali lebih mungkin terlilit utang, meningkatkan risiko kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) hingga 300 persen, dan 60 persen di antaranya memiliki pikiran untuk bunuh diri.
Direktur Eksekutif Katadata Insight Center (KIC), Fakhridho Susrahardiansyah, Ph.D., mengingatkan bahwa judi online juga memberikan efek domino pada kualitas sumber daya manusia (SDM) di Indonesia.
"70 persen pecandu judi online mengonsumsi narkoba agar bisa bermain lebih lama," jelasnya. Fakhridho menekankan bahwa hal ini menjadi ancaman serius bagi visi Indonesia Emas 2045 yang mengandalkan kualitas SDM unggul.
Mengingat dampak yang masif ini, Fransiska Oei dari Perbanas mengusulkan pendekatan berbasis agama, seperti yang diterapkan di Malaysia, untuk memberikan edukasi kepada masyarakat.
"Saya mungkin tidak takut penjara, tapi takut sama Tuhan," kata Fransiska, menyoroti pentingnya nilai moral dalam memerangi judi online.
Selain itu, ia juga mengusulkan agar modul tentang bahaya judi online diintegrasikan ke dalam kurikulum sekolah dan diperlukannya regulasi ketat terhadap iklan judi yang menyamar sebagai game online. Data menunjukkan, 60 persen pasien pecandu judi mengalami depresi berat, dan 15 persen di antaranya pernah mencoba bunuh diri, sehingga penanganan yang komprehensif sangat diperlukan.