Oleh : Iwan Rudi Saktiawan; CIRBD, Pakar Koperasi dan Keuangan Mikro Syariah
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dukungan yang begitu besar terhadap Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDKMP), membina atau membinasakan perkoperasian? Untuk memudahkan menjawab pertanyaan tersebut penulis awali dengan sebuah kisah.
Suatu hari, seekor kera berhasil menyelamatkan seekor kelinci yang hampir tenggelam karena sedang terjadi banjir. Setelah menolong kelinci, Sang Kera kemudian berhasil menarik seekor ikan dari air bah dan menempatkan ikan tersebut pada batu yang tinggi. Sang Kera menempatkan ikan dekat dengan kelinci yang tadi ia tolong. Namun selang beberapa jam kemudian, Sang Kera bersedih karena ikan sahabatnya mati.
Moral dari cerita tersebut adalah bahwa niat baik, ikhtiar baik, tidak selalu menghasilkan yang baik bila keliru caranya. Kekeliruan yang ada yang diteladankan dalam cerita tersebut adalah ketidaktahuan tentang karakteristik yang ditolongnya. Kelinci dan Ikan, memiliki karakteristik yang berbeda, yakni memiliki habitat yang berbeda.
Dukungan banyak pihak terhadap KDKMP, khususnya dari Pemerintah, adalah hal yang positif. Pemerintah sangat serius mendukung KDKMP. Hal ini terlihat dengan dikerahkannya 18 kementerian dan lembaga (K/L). Namun sebagaimana moral cerita di awal tulisan ini, keliru memahami karakteristik yang ditolongnya, dapat berdampak fatal. Oleh karena itu, penulis mengajak kembali untuk mengenal kembali koperasi, termasuk sejarah pendirian koperasi.
Hal yang Utama dalam Koperasi adalah Orang
Agar benar-benar membina dan bukan membinasakan perkoperasian, maka penulis awali dengan mereview definisi koperasi. Penulis memilih definisi koperasi dari konvensi International Cooperative Alliance (ICA). ICA adalah organisasi yang memayungi perkoperasian sedunia, sehingga definisinya menjadi rujukan perkoperasian secara internasional.
Sebagai informasi, definisi yang ada pada UU no. 25/1992, dibuat setelah adanya konvensi ICA. Dengan demikian definisi pada UU tersebut tidak merujuk ke kesepakatan internasional tentang perkoperasian. Oleh karena itu, dalam RUU Perkopersian yang akan disahkan, definisi koperasi merujuk ke konvensi ICA.
Menurut hasil konvensi International Co-operative Alliance (ICA) “koperasi adalah sebuah asosiasi otonom dari orang-orang yang bergabung secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi ekonomi, sosial, dan budaya bersama melalui sebuah perusahaan yang dimiliki dan dikelola secara demokratis."
Definisi koperasi dari ICA diawali dengan frasa [asosiasi otonom dari] “orang-orang” bukan “badan usaha”. Hal ini menunjukkan bahwa dalam perkoperasian orang adalah yang utama dibandingkan dengan bdan usaha atau modal. Kunci sukses koperasi adalah pada orang-orangnya (anggota koperasi). Oleh karena itu, pembinaan perkoperasian yang benar adalah yang berorientasi pada penguatan orang-orang (anggota koperasi), bukan semata pada bisnis koperasinya.
Proses Penemuan Konsep Koperasi
Konsep perkoperasian lahir dari praktik dan pengalaman. Praktik tersebut berevolusi sehingga menjadi suatu konsep koperasi yang kemudian menjadi kesepakatan seluruh gerakan koperasi dunia. Konsep koperasi, ternyata tidak semata bahwa yang menerima manfaat (keuntungan) adalah anggota. Tentang bagaimana organisasi dijalankan, misalnya tentang pengambilan keputusan, merupakan kaidah pokok dalam perkoperasian.
Hal ini dapat kita lihat dari bagaimana konsep koperasi lahir oleh Friedrich Wilhelm Raiffeisen. Sebelum mendirikan lembaga sebagaimana koperasi saat ini, ia mendirikan beberapa lembaga dengan model yang berbeda. Semua model yang dia dirikan memberikan manfaat untuk anggota lembaga tersebut yang merupakan masyarakat miskin. Namun meskipun sama-sama memberikan manfaat bagi anggotanya, Raiffeisen menetapkan model yang ketiga sebagai konsep koperasi, yang berlaku hingga saat ini dan kemudian disepakati oleh seluruh gerakan koperasi dunia.
Pada tahap awal, ia mendirikan Flammen-Hilfsverben (Asosiasi Bantuan Bencana Kelaparan), pada tahun 1846. Raiffeisen mendirikan asosiasi ini untuk mengumpulkan donasi, terutama dari kalangan yang lebih mampu di komunitasnya, guna membeli bahan makanan seperti gandum dan kentang. Bantuan ini kemudian dibagikan kepada keluarga miskin yang kelaparan.
Model berikutnya bernama Heddesdorfer Wohltätigkeitsverein (Asosiasi Amal Heddesdorf), pada tahun 1849. Raiffeisen mendirikan asosiasi ini untuk membantu para petani membeli ternak dengan skema pinjaman berbunga rendah. Meskipun ini sudah berbentuk pinjaman, modelnya masih sangat berbeda dari koperasi modern. Anggota asosiasi ini bukan pemilik serta tidak memiliki hak suara seperti di koperasi. Para petani dan peternak hanya menjadi penerima manfaat.
Dari proses-proses yang telah dilakukannya, Raiffeisen menyadari bahwa ternyata, pendekatan charity (hibah-habis) dan pinjaman berbunga rendah tidak cukup untuk memberikan solusi berkelanjutan. Bantuan yang bersifat "dari atas ke bawah" (dari orang kaya ke orang miskin) tidak memberdayakan malah menciptakan ketergantungan.
Ia menemukan bahwa pemberdayaan berkelanjutan terwujud ketika potensi para anggotanya dioptimalkan melalui kemandirian. Ia akhirnya mengembangkan konsep 3-S yakni Selbsthilfe, Selbstverwaltung, und Selbstverantwortung yang diterjemahkan sebagai self-help (swadaya), self-responsibility (tanggung jawab mandiri), and self-governance (pengelolaan mandiri). Tiga hal tersebut menjadi pilar utama dari koperasi yang ia dirikan, kemudian diadopsi menjadi bagian dari prinsip koperasi. Dengan konsep koperasi tersebut, para anggota berkumpul, menabung bersama, dan saling meminjamkan uang dengan pengawasan internal.
Model bagi habis dan pinjaman lunak, memang diperlukan untuk kondisi tertentu, misalnya pasca bencana atau diperuntukkan bagi orang yang tidak bisa produktif seperti orang lanjut usia (lansia), dan lain-lain. Namun masyarakat yang menjadi segmen utama koperasi bukan kalangan itu. Koperasi adalah badan usaha (lembaga bisnis) yang segmen utamanya adalah masyarakat produktif. Oleh karena itu bagi masyarakat produktif, pendekatan santunan malah menghilangkan potensi kemandiriannya serta menimbulkan ketergantungan.
Membina atau Membinasakan?
Dari uraian sebelumnya dapat disimpulkan sebagai berikut. Dukungan dari berbagai pihak memang membantu KDKMP. Namun, ada atau tidaknya bantuan dari pihak lain, KDKMP tetap harus bisa berjalan karena KDKMP berprinsip swadaya. Berhasil atau tidaknya KDKMP adalah tanggung jawab (anggota) KDKMP bukan pihak lain, apalagi pemerintah, karena KDKMP harus self-responsibility. Berjalan atau tidaknya KDKMP dengan baik, ditentukan oleh anggota KDKMP, karena sebagai koperasi, KDKMP adalah self governance.
Bila dengan pemisalan kisah yang tersaji di awal tulisan ini, maka bisa jadi sudah banyak ikan yang disimpan di atas batu, dengan maksud baik untuk menyelamatkannya. Setelah tahu bahwa itu keliru, yuk mari kita letakkan ikan tersebut di dalam air, entah itu di sungai, di kolam, ataupun di tempat berair lainnya. Dengan kata lain, bila sudah banyak KDKMP yang hilang sikap mandirinya, yuk kita tumbuhkan kembali jiwa kemandiriannya.
Menumbuhkan kemandirian adalah pembinaan, sedangkan menumbuhkan ketergantungan adalah pembinasaan. Karena jumlah KDKMP sangat banyak, maka pembinasaan karena tumbuhnya ketergantungan, tidak hanya akan membinasakan KDKMP, namun juga koperasi di Indonesia secara keseluruhan.
Dari definisi dan sejarah pendirian koperasi oleh Raiffeisen, maka kata kunci koperasi agar tidak binasa adalah kemandirian dan hilangnya ketergantungan. Raiffeisen menyatakan bahwa ada hubungan antara kemiskinan dan ketergantungan. Ia menyatakan bahwa untuk memerangi kemiskinan, seseorang harus memerangi ketergantungan terlebih dahulu. Inilah yang harus terpatri pada KDKMP, bila tidak ingin binasa.