
Wakil Menteri Hukum, Eddy Hiariej, menjelaskan tentang aturan restitusi dan kompensasi kepada korban tindak pidana di dalam Revisi Undang-Undang Hukum (RUU KUHAP).
Menurutnya, KUHAP baru akan turut diatur soal dana abadi korban untuk pemulihan kerugian mereka.
“Dengan mengadopsi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, kebetulan waktu itu saya ketua DIM pemerintah, ini kita adopsi dalam RUU KUHAP mengenai dana abadi korban. Jadi dana abadi korban ini bisa bersumber dari APBN,” ucap Eddy di sebuah acara diskusi tentang TPPO di kantor LPSK, Jakarta Timur pada Kamis (31/7).
“Ini untuk bagaimana kita melakukan rehabilitasi terhadap korban, restitusi terhadap korban,” tambahnya.

Eddy mengatakan, nantinya peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) akan sangat sentral dalam realisasi dana abadi korban ini.
“Saya kira ketika harus menghitung berapa biaya, bagaimana melindungi korban, bagaimana memberikan perlindungan terhadap saksi, ini peran LPSK menjadi sangat sentral. Oleh karena itu, dalam RUU KUHAP yang baru, tidak hanya pasal, tapi pada bagian tertentu, berbicara soal Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban,” ucap Eddy.
“Ketika akan memberikan hak korban, ketika akan memberikan hak saksi, perempuan, anak yang bermasalah dengan hukum, memang penyidik penuntut umum itu wajib berkoordinasi dengan LPSK. Ini bukan kerja sendirian, tapi ini merupakan kolaborasi lintas sektoral,“ tambah dia.
Dalam RUU KUHAP, akan diatur bila seorang pelaku tindak pidana tak mampu membayar kerugian korban, kerugian akan ditanggung negara. Ganti kerugian itu disebut kompensasi, bukan restitusi.
“Bedanya apa? Kalau kompensasi itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara, restitusi adalah tanggung jawab dari si pelaku. Tetapi kita tidak menutup mata bahwa kalau misalnya dalam kekerasan terhadap, tidak dalam tindak pidana kekerasan seksual itu, tidak mesti pelaku berasal dari orang yang berduit,” ucap Eddy.
“Ketika tidak ada yang disita, harta kekayaannya tidak bisa untuk melakukan restitusi, kan negara tidak bisa diam. Karena korban ini harus direhabilitasi, harus direstorasi. Nah di sini lahir lah kompensasi,” tambahnya.

Kata LPSK Soal Dana Abadi
Wakil Ketua LPSK, Antonius PS Wibowo menjelaskan selama ini belum ada regulasi yang mengatur soal dana abadi korban. Hal ini pun bisa menjawab masalah restitusi untuk korban yang selama ini belum maksimal.
“Tadi sudah saya sampaikan penyitaan aset pelaku belum berjalan maksimal, itu satu. Yang kedua, belum ada regulasi untuk korban TPPO memperoleh restitusi dari dana abadi korban,” ucap Antonius.
LPSK menjelaskan, dana abadi korban untuk kompensasi ini bukan menutup pelaku untuk membayar restitusi.
“Restitusi tetap dijatuhkan dalam rangka proses hukum. Bukan di luar proses hukum ya mbak. Jadi restitusi tetap dimintakan dari proses hukum. Melalui penyidikan, penuntutan, kemudian diajukan ke hakim,” ucap Antonius.

LPSK menilai, korban tetap harus dapat ganti kerugian ketika pelaku tak mampu bayar restitusi. Maka, negara yang akan menanggung lewat dana abadi.
“Gini Konsep restitusi itu tetap didasarkan pada putusan pengadilan. Nah tadi saya sampaikan, putusan pengadilan yang sangat ideal menurut harapan korban adalah satu, menjatuhkan restitusi,” ucap Antonius.
“Kalau restitusi tidak mampu dibayar atau kurang dibayar oleh pelaku, maka dilakukan penyitaan aset pelaku. Kalau dari aset pelaku masih juga kurang, di sinilah kemudian tempatnya kekurangan itu diambilkan dari dana abadi korban. Kira-kira seperti itu,” tutur dia.