Kadang, sebuah foto bisa terasa seperti cermin yang tiba-tiba diletakkan di depan wajah kita—tanpa aba-aba, tanpa waktu untuk bersiap.
Pagi tadi, seorang teman lama mengunggah foto di status WhatsApp-nya. Ia duduk di atas pembatas beton yang mulai lapuk, seolah tempat itu sudah lama mengenal berat tubuhnya. Ia duduk santai—seperti seseorang yang akrab dengan angin siang dan tatapan matahari. Kulitnya legam, mengilap di bawah sinar yang menyusup di antara daun-daun, membawa kesan hangat yang sulit dibedakan antara milik cahaya atau milik waktu.
Di bawah foto itu, ia menulis caption singkat: memasuki usia kadang dipanggil pak, kadang mas, kadang bang, kadang om.
Sekilas, itu hanya kalimat ringan. Namun di kepala saya, kata-kata itu bergema lebih lama dari yang seharusnya. Ada rasa yang samar, seperti menyadari sesuatu yang sudah kita ketahui sejak lama, tapi jarang benar-benar kita ucapkan. Mungkin, itu karena saya paham betul apa artinya berada di wilayah abu-abu usia, di mana kita tidak lagi sepenuhnya muda, tapi juga belum benar-benar tua.
Persimpangan waktu itu aneh. Tidak ada rambu yang jelas. Tidak ada pesta selamat datang. Hanya ada tanda-tanda kecil—sapaan orang, tatapan di warung, atau perubahan kecil dalam cara orang mengajak bicara. Kadang kita masih dipanggil “mas” oleh anak-anak yang bekerja di minimarket, lalu beberapa jam kemudian, tukang parkir menyapa “pak” dengan nada hormat. Sore hari, seorang keponakan yang sedang tumbuh remaja tiba-tiba memanggil kita “om” dengan canggung. Dan di antara semua itu, ada teman lama yang masih bersikeras memanggil kita “bang” seperti dulu.
Di titik ini saya bertanya pada diri sendiri: Apakah kita benar-benar memilih usia yang kita jalani, ataukah kita hanya berjalan mengikuti panggilan orang lain?
Panggilan-panggilan itu tidak hanya menyebut nama kita, tapi juga menyebut usia kita, atau tepatnya, posisi kita di mata orang lain. Dan di sanalah letak keganjilannya: kita mungkin merasa sama seperti lima atau sepuluh tahun lalu, tapi dunia sudah menggeser kita ke tempat yang berbeda.
Saya jadi ingat sebuah pikiran lama: bahwa identitas kita tidak sepenuhnya kita tentukan sendiri. Sebagian besar dibentuk oleh cara orang memanggil kita, melihat kita, memperlakukan kita. Kita bisa saja menolak, mengatakan bahwa kita masih muda, tapi panggilan “pak” atau “om” akan tetap datang, tanpa peduli perasaan kita. Mungkin itu yang membuat kita sulit mendefinisikan diri—karena ada jarak antara siapa kita di mata sendiri dan siapa kita di mata orang lain.
Persimpangan usia seperti ini terasa seperti lorong yang tidak memiliki papan nama. Kita berjalan di dalamnya tanpa tahu kapan persisnya kita memasukinya. Ada hari-hari kita merasa masih bagian dari keramaian anak muda; ada hari lain kita merasa sudah berdiri agak jauh, seperti penonton yang menunggu giliran.
Teman saya di foto itu, dengan kulitnya yang legam, terlihat seperti orang yang sudah menerima kenyataan itu. Ia duduk di atas pembatas beton, seperti duduk di batas antara dua dunia—yang satu penuh langkah cepat dan obrolan riuh, yang satu lagi penuh tatapan panjang dan kata-kata yang diucapkan perlahan.
Mungkin memang begitu seharusnya. Kita tidak perlu memilih ingin berada di sisi mana. Kita hanya perlu duduk sebentar di batas itu, membiarkan angin lewat, membiarkan waktu menandai kita dengan caranya sendiri.
Saya teringat, saat kecil dulu, memanggil seseorang “pak” terasa seperti memberi mereka gelar kehormatan. “Pak” adalah sebutan untuk orang yang punya wibawa, atau setidaknya lebih tua dari ayah kita. Lalu, ketika panggilan itu mulai dialamatkan kepada diri kita, ada rasa asing yang tidak bisa segera kita jinakkan. Rasanya seperti memakai baju yang sedikit kebesaran—kita tahu suatu hari baju itu akan pas, tapi untuk sementara kita hanya merasa aneh di dalamnya.
Dan itulah yang lucu dari perjalanan usia: kita tidak pernah merasa benar-benar berubah di dalam, tapi dunia di luar kita terus mengubah cara memandang. Kadang, saya pikir, hidup ini semacam percakapan panjang antara “aku” di dalam diri dan “aku” di mata orang lain. Persimpangan usia hanyalah salah satu babak dalam percakapan itu.
Teman saya mungkin tidak sedang memikirkan semua ini ketika ia menulis caption-nya. Mungkin ia hanya ingin bercanda tentang betapa cairnya sapaan orang kepadanya. Tapi bagi saya, kalimat itu terasa seperti cermin yang tiba-tiba ditaruh di depan wajah—dan kita diminta untuk mengaku pada diri sendiri bahwa kita sedang berjalan di jembatan yang hanya bisa dilewati sekali.
Saya membayangkan, suatu hari nanti, panggilan “mas” akan hilang sama sekali. “Bang” akan menjadi kenangan dari teman-teman lama. “Om” akan menjadi sapaan paling sering dari anak-anak yang tumbuh di sekitar kita. Dan akhirnya, “pak” akan menjadi pakaian sehari-hari yang kita kenakan tanpa lagi merasa aneh.
Mungkin itu bukan kehilangan. Mungkin itu hanyalah cara dunia memberi tahu bahwa kita sedang bergerak maju, meski kadang kita sendiri tidak sadar. Bahwa setiap panggilan adalah tanda kecil dari perjalanan, semacam stempel di paspor waktu kita.