Jakarta, CNBC Indonesia - Produksi tanaman pangan, khususnya serealia atau biji-bijian diprediksi melonjak 3% pada periode tahun 2025-2026, menjadi 2,377 miliar ton. Produksi jagung disebut cetak pertumbuhan tertinggi.
Sementara, produksi gandum dunia pada 2025-2026 diperkirakan naik menjadi 811 juta ton, lebih tinggi dari 800 juta ton tahun sebelumnya.
Namun, di balik kabar positif itu, para peneliti memberi peringatan, yakni iklim ekstrem kian sering terjadi dan berpotensi memangkas hasil panen di banyak wilayah.
Disebutkan, pelaku industri biji-bijian global tengah menyoroti adanya variabel negatif iklim yang semakin meningkat, dan memengaruhi setiap hektare. Sementara, ada sekitar 8,2 miliar orang di seluruh bumi yang harus diberi makan. Dan, terus bertambah.
Demikian melansir World Grain yang membahas tantangan tekanan tanaman pangan di tengah perubahan iklim yang semakin meningkat.
Tulisan itu mengutip hasil analisis University of Illinois yang menunjukkan, produksi pangan dunia memang menunjukkan peningkatan konstan setiap tahunnya, dalam periode tahun 1981-2022. Hanya saja, di tingkat lokal, perubahan iklim menyebabkan hasil panen, secara konstan, juga mengalami penurunan.
Disebutkan, meski ada penurunan variabilitas atau keberagaman hasil panen, terutama jagung dan kecelai, namun diduga tak memiliki korelasi antarwilayah akibat perubahan iklim.
Presiden dan ahli meteorologi pertanian senior di World Weather, Inc Drew Lerner menyatakan, dengan kondisi cuaca ekstrem yang terjadi saat ini, bumi mungkin saja tidak benar-benar kekurangan biji-bijian atau minyak nabati.
"Saya pikir dengan cuaca ekstrem dan kerusakan yang ditimbulkannya, dengan semua publisitasnya, mudah untuk meyakinkan diri sendiri bahwa kita mungkin tidak dapat menanam cukup banyak tanaman di masa depan, tetapi saya ragu untuk melakukannya," katanya, seperti dikutip CNBC Indonesia, Rabu (27/8/2025).
"Saya pikir ada tempat-tempat di planet ini yang mungkin tidak bisa berproduksi seperti dulu, tetapi akan ada tempat-tempat lain yang akan lebih baik. Saya pikir, secara keseluruhan, kita masih bisa sukses," sambungnya.
Di sisi lain, studi yang dilakukan Universitas Stanford yang diterbitkan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences pada bulan Mei melaporkan, cuaca panas dan kekeringan yang sering terjadi telah menurunkan hasil panen. Terutama untuk biji-bijian utama seperti gandum, jelai, dan jagung.
Studi itu memperkirakan, hasil panen jelai, jagung, dan gandum global 4-13% lebih rendah jika dibandingkan dengan kondisi tidak ada tren iklim seperti sekarang.
"Dalam banyak hal, perubahan yang dialami petani sepenuhnya sejalan dengan prediksi model iklim, sehingga dampak keseluruhannya seharusnya tidak mengejutkan," ujar Analis Riset di Pusat Keamanan Pangan dan Lingkungan (FSE) Stanford, Stefania Di Tommaso.
Studi tersebut juga menyoroti paradoks iklim, di mana kadar karbon dioksida yang lebih tinggi memang dapat meningkatkan hasil panen, tetapi justru mengurangi kualitas gizi biji-bijian, termasuk protein dan zat mikro penting pada gandum maupun beras.
Kekhawatiran lain datang dari aspek produktivitas jangka panjang. Laboratorium Inovasi Sereal Tahan Iklim (CRCIL) di Kansas State University mencatat perlambatan pertumbuhan produktivitas pertanian global.
"Tahun lalu, Laporan Produktivitas Pertanian Global menemukan bahwa produktivitas pertanian hanya meningkat 0,7% per tahun selama 10 tahun terakhir, dan ini masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan dunia di masa depan," tegas Dr. Tim Dalton, direktur sementara CRCIL.
Secara umum, tanaman bisa memperoleh manfaat dari kadar karbon dioksida (CO2) yang lebih tinggi, proses yang dikenal sebagai "pemupukan karbon". Kedelai, beras, dan gandum mendapat peningkatan signifikan, sementara jagung hanya sedikit terbantu, terutama saat kekeringan.
Meski begitu, Lerner menekankan, iklim ditentukan banyak faktor, mulai dari komposisi atmosfer, letusan gunung berapi, hingga siklus alam seperti El Niño, La Niña, Osilasi Arktik, maupun Osilasi Atlantik Utara. ""Yang menentukan cuaca kita pada hari tertentu adalah di mana kita berada dalam setiap siklus tersebut dan siklus mana yang memiliki pengaruh paling besar," ujarnya.
Ia menegaskan pemanasan atmosfer sudah pasti terjadi. "Pemanasan atmosfer dan pemanasan lautan memiliki banyak implikasi," kata Lerner.
Menurutnya, laut yang lebih hangat memicu penguapan tinggi, menghasilkan badai lebih besar, hujan lebih deras, dan membuat hasil panen kian sulit diprediksi. "Jadi, curah hujannya lebih tinggi, suhunya lebih hangat, dan karbon dioksidanya lebih tinggi, dan semua itu akan benar-benar mengendalikan potensi hasil panen di seluruh dunia," tambahnya.
Dampak nyata sudah terlihat. Panen gandum Australia pada 2024 anjlok 22% akibat kekeringan, Rusia mengalami rekor panas yang menurunkan hasil dan protein gandum dua musim terakhir, sementara di India proyeksi menunjukkan peningkatan suhu 2,5°-4,9°C dapat memangkas hasil gandum 41-52% dan beras 32-40%.
Laporan Bank Dunia 2019 juga memperingatkan Asia Tengah akan menjadi kawasan paling rentan, sedangkan laporan IPCC menyebut pemanasan 1,5°C saja bisa memangkas lahan cocok tanam jagung hingga 40% di Afrika sub-Sahara.
Namun, Lerner menilai adaptasi membuat sebagian petani tetap bertahan. Ia mencontohkan Amerika Serikat yang tetap mencatat hasil baik meski sering kering.
"Hibridanya telah berubah dan kami, melalui genetika, mampu membuat tanaman ini lebih efisien dalam memanfaatkan curah hujan dan lebih toleran terhadap periode kekeringan," ujarnya.
(dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article PBB Mendadak Beri Peringatan Buat Asia, RI Dalam Bahaya