Muliadi Saleh
Gaya Hidup | 2025-08-30 05:31:47

Oleh: Muliadi Saleh
Di kota-kota besar, ruang hijau kian menyempit, terdesak beton dan aspal. Namun manusia tidak bisa hidup hanya dengan gedung dan mesin. Ada kebutuhan yang lebih dalam: pangan sehat, lingkungan lestari, dan ruang untuk berinteraksi dengan alam. Dari keresahan itulah lahir sebuah jawaban sederhana namun bermakna: urban farming.
Urban farming adalah gaya hidup baru yang menautkan kembali manusia kota dengan tanah. Balkon yang dulu gersang kini penuh sayuran hidroponik. Atap rumah yang panas beralih menjadi kebun komunitas. Aktivitas menanam tidak lagi dipandang kuno, tetapi justru menjadi tren modern yang menyehatkan tubuh dan jiwa.

Di Makassar, semangat ini menemukan bentuknya melalui program “Tanami Tanata”. Sebuah gerakan yang mengajak warga kota untuk memanfaatkan lahan sempit, pekarangan rumah, hingga pot dan polybag sebagai ruang produksi pangan. Tanami Tanata bukan sekadar program pertanian perkotaan, tetapi simbol kemandirian dan kreativitas masyarakat urban. Dari lorong ke lorong, kita melihat tomat tumbuh di halaman, cabai berbuah di pot, hingga kangkung hijau subur di ember.
Program ini melanjutkan napas gerakan sebelumnya, Lorong Garden (Longgar), tetapi dengan semangat lebih luas: membangun ketahanan pangan keluarga, mengurangi biaya dapur, sekaligus memperindah wajah kota. Di tengah isu inflasi pangan, Tanami Tanata menghadirkan jawaban lokal: bahwa kota bisa memproduksi pangannya sendiri, meski dengan skala kecil namun berdampak nyata.
Kontribusi urban farming terhadap ketahanan pangan perkotaan sangat jelas. FAO menyebutkan urban agriculture mampu menyumbang hingga 20% pangan hortikultura global. Di Makassar, hasil Tanami Tanata memang bukan untuk memenuhi seluruh kebutuhan, tetapi cukup menopang ketersediaan sayur sehari-hari. Kemandirian pangan yang tersebar di rumah tangga adalah benteng pertama ketika pasokan luar terganggu.
Lebih jauh, urban farming menumbuhkan kesadaran ekologis. Tanami Tanata mengajarkan warga mengolah sampah organik menjadi kompos, memanfaatkan air hujan untuk penyiraman, dan menanam tanpa merusak lingkungan. Dari kebun-kebun mini itu, lahir pemahaman sederhana: menjaga bumi dimulai dari pekarangan sendiri.
Dari sisi kesehatan, urban farming membawa pola hidup baru. Sayuran segar yang dipetik dari halaman lebih terjamin mutunya. Proses menanam juga memberi terapi jiwa: menurunkan stres, menumbuhkan rasa syukur, dan menghadirkan interaksi sosial baru di tengah individualisme kota. Lorong-lorong yang dulunya sepi kini hidup dengan kebersamaan, warga bertemu bukan hanya untuk bercakap, tetapi juga menanam dan berbagi panen.
Urban farming di Makassar melalui Tanami Tanata adalah contoh nyata bagaimana sebuah kota bisa menanam harapan di tengah keterbatasan ruang. Ia adalah gaya hidup karena mengubah cara warga menjalani keseharian. Ia adalah sumber hidup karena dari kebun-kebun kecil itu lahir pangan, kesehatan, solidaritas, dan kesadaran ekologis.
Menanam di pot, di polybag, di pekarangan sempit—semua adalah ikhtiar sederhana, tetapi dampaknya besar. Dari satu benih kecil, tumbuh bukan hanya sayuran, tetapi juga keyakinan bahwa kota masa depan dapat hidup lebih hijau, lebih sehat, dan lebih manusiawi.
---
Muliadi Saleh
Penulis | Pemikir | Penggerak Literasi dan Kebudayaan
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.