INFO NASIONAL - Di sebuah masjid kecil di pinggiran kota, selepas shalat Jumat, Ustad Agus Fadilla tidak langsung menutup khutbahnya. Ia menyempatkan beberapa menit untuk berbicara tentang seorang sahabat Nabi yang terkenal penuh kasih kepada anaknya.
“Menjadi ayah teladan bukan hanya soal memberi nafkah, tapi hadir secara hati dan waktu.” ujarnya. Jemaah mendengarkan dengan khusyuk, beberapa ayah bahkan menunduk, seperti sedang bercermin. Momen seperti inilah yang ingin diperbanyak oleh Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI) melalui safari dakwah Qawammah.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
GATI memahami bahwa untuk mengubah pola pikir masyarakat tentang peran ayah, pesan harus disampaikan oleh figur yang benar-benar dipercaya, yakni tokoh agama dan tokoh masyarakat. Data Edelman Trust Barometer 2023 menunjukkan, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap tokoh agama dan tokoh komunitas mencapai lebih dari 70 persen, jauh di atas tokoh politik.
Di Indonesia, survei LSI 2022 mencatat bahwa pendapat tokoh agama mempengaruhi keputusan hidup 6 dari 10 orang dewasa. Dengan pengaruh sebesar ini, peran tokoh agama dan masyarakat bukan sekadar tambahan, melainkan kunci dalam gerakan ini.
Salah satu tantangan terbesar GATI adalah stigma yang menempel pada para ayah, harus selalu kuat, tidak boleh menangis, apalagi curhat. Akibatnya, banyak ayah menanggung masalah sendiri. Riset WHO 2022 menunjukkan laki-laki di Asia Tenggara memiliki risiko bunuh diri hampir dua kali lipat dibanding perempuan, salah satunya karena rendahnya perilaku mencari bantuan.
Tokoh agama dapat membantu menormalisasi perilaku ayah yang mau berbicara tentang masalahnya, lewat khutbah, ceramah, atau diskusi di balai desa.
Suara para ayah pun membuktikan dampaknya. “Kalau ustad saya yang bilang, rasanya lebih masuk di hati. Saya jadi berani ajak anak main di luar walau capek kerja,” ujar Triandika Sukarlan, 37 tahun, ayah di Bekasi.
Sementara Karso, 50 tahun, ayah di Tambun, mengaku tersentuh khutbah Jumat yang berbeda dari biasanya. “Uang bukan satu-satunya hak anak dari ayahnya. Anak juga butuh doa, perhatian, dan waktu dari ayahnya,” katanya.
Menguatkan GATI melalui tokoh agama dan masyarakat bukan sekadar strategi, tapi investasi sosial. Saat figur yang dihormati mengajak ayah untuk lebih terlibat, pesan itu menembus tembok ego dan stigma yang sering kali sulit ditembus oleh kampanye biasa.
Perubahan besar dimulai dari lingkaran kecil yakni khutbah di masjid, obrolan selepas misa, atau rapat warga di balai desa. Dari sanalah akan lahir para ayah teladan yang tidak hanya hadir secara fisik, tapi juga hati, waktu, dan kasih sayang. Karena ayah teladan bukan hanya membentuk keluarga yang bahagia, tapi juga membangun bangsa yang kuat.(*)