PANTAI Desa Kolontobo, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sabtu (23/8/2025) petang, dipadati ribuan warga. Tak seperti peserta festival lain, warga yang menghadiri Festival Muro 1 ini mengenakan pakaian sederhana, membawa serta alat tangkap seperti Keroa (alat tikam ikan), serta wadah penampung. Tak lupa, mereka memasang senter di kepala mengantisipasi saat gelap di laut. Mereka bersiap mencari hasil laut untuk konsumsi rumah tangga.
Tak hanya berasal dari Desa Kolontobo, tampak pula Masyarakat dari desa Dikesare, Tapo Baran, Lamatokan, Todanara, juga dari Kota Lewoleba. Mereka memadati pantai Desa Kolontobo sambil menanti perintah untuk boleh melaut.
Melalui pengeras suara yang disiapkan panitia Festival Muro 1, Karolus Koda yang menjabat sebagai 'Nama Watan Ahi Kene' (penjaga pantai) dalam pranata adat Desa Kolontobo, memerintahkan warga untuk boleh melaut. Hal itu sekaligus menandakan dimulainya festival.
Dua Tahun Ditutup
Pembukaan Festival Muro 1 itu digelar setelah 2 tahun wilayah laut tersebut ditutup total dari aktivitas menangkap ikan. Penutupan wilayah laut itu untuk melindungi kehidupan laut dan sekitarnya.
Ketua Panitia Festival Muro 1, Yoakim Sinung mengatakan, festival ini digelar oleh pemerintah desa bekerjasama dengan LSM Barakat. "Awalnya kita rencana buka sendiri, tapi berkaitan adanya kepentingan mendorong lahirnya perda Muro, maka dibuatlah Festival Muro I,” katanya.
Festival itu dihadiri jajaran Pemda NTT, di antaranya adalah Wakil Ketua Bapemperda DPRD NTT, Oktavianus Moa Mesi, Ketua Komisi II DPRD NTT Leonardus Lelo, mewakili Bupati Lembata, Kadis Pariwisata Ekonomi Kreatif, Yakobus Wuwur, Ketua DPRD Kab Lembata Syafrudin Sira, dan Wakil Ketua II DPRD Lembata Gewura Frabsiskus.
Masyarakat adat dari Lima desa yakni Dikesare, Tapo Baran, Lamatokan, Todanara, dan Kolontobo, hingga warga dari Kota Lewoleba turun melaut saat Muro atau larangan itu dibuka. Sebelumnya telah digelar ritual adat membuka Muro.
Warga dengan peralatan tangkap sederhana menangkap berbagai jenis ikan. Tentu bagi yang sudah terbiasa melaut, tangkapannya lebih banyak, sedangkan bagi yang tidak terbiasa hanya memperoleh sedikit.
Sejak dibuka pukul 16.00 wita hingga selesai pukul 19.00 wita, ribuan jenis ikan ditangkap warga. Sebagian dipungut untuk kepentingan pemangku adat, fakir miskin, dan pihak desa.
Andre, warga kota Lewoleba yang hadir dalam Festival Muro I mengaku sangat bahagia menyaksikan warga sibuk menangkap ikan dalam jumlah yang lumayan banyak.
"Jujur saya datang untuk menikmati suasana melaut beramai-ramai dan ingin memastikan bagaimana dampak positip penutupan Muro terhadap kekayaan laut kita. Dan hasilnya lumayan banyak ikan. Karang, mangrove dan ekosistem di sekitarnya juga terawat baik," ujar Andre.
Usai penangkapan ikan secara masal, digelar dialog bersama Pemda Lembata dan anggota DPRD Provinsi NTT, tentang pengakuan masyarakat dari 5 Desa tentang pelaksanaan Muro dan dampak sosialnya. Festival Muro I ditutup dengan pentas seni yang cukup memukau.
Diyakini, melalui ritual adat peninggalan nenek moyang Muro itu mampu menjaga kelestarian biota laut, serta menjadi pengingat bahwa laut bukan sekadar sumber hidup, tetapi juga bagian dari warisan leluhur yang harus dihormati. (M-1)