Personel kepolisian menembakkan gas air mata ke arah pengunjuk rasa di depan Mapolda Jateng, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (29/8/2025). Unjuk rasa yang menuntut pengusutan kasus penabrakan pengemudi ojek online Affan Kurniawan oleh mobil rantis Brimob hingga tewas itu berakhir ricuh.
REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Tim Hukum Suara Aksi (THSA) menemukan dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan Polda Jawa Tengah (Jateng) dalam serangkaian penangkapan pascaaksi unjuk rasa di Kota Semarang pada 29-31 Agustus 2025. Selain penangkapan dilakukan sewenang-wenang, Polda Jateng pun tak memberikan akses agar mereka memperoleh pendampingan hukum.
Anggota (THSA) sekaligus Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, Ahmad Syamsuddin Arief, mengungkapkan, pihaknya mencatat Polda Jateng telah menangkap setidaknya 475 massa aksi dan masyarakat sipil. Menurut Arief, Polda Jateng melakukan penanganan tertutup terhadap orang-orang yang ditangkap.
"Kami mengalami beberapa kali proses penghalangan bantuan hukum terhadap massa aksi. Penghalangan ini terjadi bukan hanya kepada tim hukum, tapi juga orang tua yang ingin mengakses keberadaan dan kondisi anaknya," kata Arief ketika memberikan keterangan pers di Kantor LBH Semarang, Rabu (3/9/2025).
Dia menjelaskan, 475 orang yang ditangkap tidak hanya terdiri dari mahasiswa, tapi juga pelajar, perempuan, dan warga sipil, termasuk penyandang tuli. "Ketika disabilitas tunarungu ini ditangkap, dia tidak mendapatkan akses bantuan hukum dan pendampingan dari profesional disabilitasnya. Sehingga ini menghalangi proses, bahkan Polda Jawa Tengah telah terbukti melakukan pelanggaran HAM," ucapnya.
Menurut THSA, dari 400-an orang yang ditangkap, sebagian besar dilakukan secara sewenang-wenang dan serampangan. "Polisi berpakaian preman melakukan sweeping di beberapa titik, bahkan di depan Polda. Setiap ada remaja yang nongkrong atau lewat, mereka diberhentikan, bahkan ada yang sampai jatuh dari motor dan dipukul aparat Polda Jateng yang tidak berseragam," ujar anggota THSA, Fandy Achmad Chairuddin.
"Kapolda Jawa Tengah harus meminta maaf pelajar dan orang tua korban salah tangkap, serta meminta maaf kepada masyarakat atas tindakan anak buahnya yang melakukan tindakan represif," tambah Fandy.