Menteri Keuangan Sri Mulyani menetapkan target ambisius untuk pendapatan negara pada 2026. Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, pendapatan negara dipatok sebesar Rp 3.147,7 triliun, naik 9,8 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Porsi terbesar tetap berasal dari penerimaan perpajakan yang ditargetkan mencapai Rp 2.692 triliun. Dari angka tersebut, penerimaan pajak ditargetkan Rp 2.357,7 triliun, sementara penerimaan kepabeanan dan cukai dipatok Rp 334,3 triliun. Adapun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) ditargetkan Rp 455 triliun.
Target pajak yang dipasang pemerintah tahun depan tergolong tinggi. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, penerimaan pajak diproyeksikan melonjak 13,5 persen.
"Target penerimaan pajak itu cukup tinggi dan ambisius," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers Nota Keuangan dan RAPBN 2026, Jumat (15/8).
Bendahara negara itu menegaskan tidak ada kebijakan baru terkait pajak dalam RAPBN 2026. Pemerintah tidak akan menambah jenis pajak baru, melainkan fokus memperkuat basis yang ada melalui reformasi internal, digitalisasi sistem, hingga pemanfaatan Coretax.
"Kebijakan akan mengikuti UU (Undang-undang) yang ada. Tidak ada pajak baru. Lebih kepada reform di internal," ujarnya.
Ia menambahkan, pertukaran data antarinstansi akan diperluas dan pemanfaatan teknologi diperkuat untuk meningkatkan efektivitas pengawasan.
"Pertukaran data akan diintensifkan. Pajak dan bea cukai kami masih melihat ruang untuk improve," ujar dia.
Salah satu fokus pemerintah adalah memberantas aktivitas ekonomi ilegal atau shadow economy yang masih marak di Indonesia. Aktivitas ini dianggap sebagai tantangan besar dalam meningkatkan penerimaan pajak dan kepatuhan wajib pajak.
"Kita lebih pada ilegal activity shadow economy, tadi disampaikan oleh bapak presiden, beliau lihat kegiatan-kegiatan ilegal yang menyebabkan compliance itu menjadi salah satu tantangan yang sangat besar," ungkap Menkeu.
Meski begitu, ia menegaskan strategi penegakan kepatuhan tetap dilakukan secara adil dengan mempertimbangkan kemampuan masyarakat.
"Kita tidak akan memajaki yang memang bukan kemampuan mereka. Tapi kalau memang ada kemampuan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, itu yang akan kita enforce," jelasnya.
Sri Mulyani juga memastikan keberpihakan pemerintah terhadap pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Pemerintah tetap memberi perlindungan fiskal agar mereka tidak terbebani pajak.
Berdasarkan aturan, penghasilan UMKM hingga Rp 500 juta pertama dibebaskan dari pajak atau termasuk dalam kategori Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Sementara untuk omzet hingga Rp 4,8 miliar per tahun, tarif final yang dikenakan hanya sebesar 0,5 persen.
"Karena banyak sekali yang berpersepsi bahwa seluruh bidang usaha, seluruh pengusaha, terutama yang tidak mampu terbebani dengan pajak tersebut," katanya.