
POLUSI udara menjadi salah satu faktor pencetus munculnya berbagai penyakit di masyarakat global saat ini. Data dari State of Global Air Report 2024 melaporkan bahwa polusi udara merupakan faktor risiko utama kedua penyebab kematian, menyebabkan sekitar 8,1 juta kematian dini setiap tahun, akibat kondisi seperti stroke, penyakit jantung, kanker paru-paru, dan infeksi pernapasan akut.
Direktur Kesehatan Lingkungan, Direktorat Jenderal Penanggulangan Penyakit Kemenkes, Then Suyanti mengatakan, polusi udara menjadi faktor resiko kematian tertinggi nomor 5 di Indonesia. Selain itu, polusi udara juga memberi dampak ekonomi besar, mulai dari biaya kesehatan akibat penyakit pernapasan hingga hilangnya produktivitas kerja. Strategi peningkatan kualitas udara lewat pengendalian emisi harus segera dijalankan. Ini mencakup deteksi kualitas udara secara sistematis, survei kondisi lapangan, dan penerapan kontrol emisi industri, demi menurunkan dampak kesehatan dan ekonomi secara berkelanjutan.
“Polusi udara berdampak langsung pada kesehatan—menyebabkan biaya rawat jalan dan inap akibat penyakit pernapasan melonjak. Penyakit seperti pneumonia, ISPA, PPOK, hingga kanker paru memakan biaya paling tinggi dalam anggaran JKN, dengan pneumonia sendiri mencapai sekitar Rp 8,7 triliun” kata Then, dalam keterangan tertulisnya, Sabtu, (6/9).
Dalam webinar bertajuk "Industri Baja Hijau: Solusi untuk Kesehatan Masyarakat Sekitar?", peneliti Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) Timotius Rafael mengatakan, aktivitas industri berbasis energi fosil masih menjadi kontributor utama emisi gas rumah kaca (GRK) sekaligus pencemar udara. Polutan berbahaya seperti PM2.5, PM10, NO₂, SO₂, dan CO tidak hanya memperburuk kualitas lingkungan, tetapi juga meningkatkan risiko penyakit pernapasan, kardiovaskular, hingga menurunkan produktivitas masyarakat.
Dalam konteks dekarbonisasi global, industri baja menjadi salah satu sektor yang paling krusial. Proses produksinya menyumbang sekitar 3% emisi GRK nasional sekaligus menimbulkan pencemaran udara yang signifikan di kawasan industri. Warga yang tinggal di sekitar kawasan industri baja kerap menjadi pihak paling terdampak dengan meningkatnya kasus ISPA (infeksi saluran pernapasan akut) dan penyakit lain yang dipicu oleh kualitas udara buruk.
“Industri baja adalah salah satu emitter terbesar dalam sektor industri, menjadikannya prioritas utama dalam dekarbonisasi. Proses peleburan baja memerlukan suhu sangat tinggi, mengakibatkan emisi yang sangat tinggi. Teknologi produksi baja terbagi menjadi dua jalur utama—tanur tinggi berbahan bakar batubara (blast furnace) dan Electric Arc Furnace (berbasis listrik). Keduanya menghasilkan emisi, sehingga pengendalian polusi harus menyertakan seluruh tahap produksi dengan memperhatikan aspek lingkungan.” kata Timotius Rafael.
Harus ada Transformasi
Ia mengatakan, momen peringatan Hari Udara Bersih Internasional 2025 pada 7 September dengan tema global Racing for Air harus dijadikan pengingat bagi pelaku industri, termasuk baja, untuk berkomitmen menjalankan bisnis yang ramah lingkungan.
Dikatakan Timotius, dekarbonisasi bukan hanya langkah teknis untuk mencapai target iklim, tetapi juga investasi langsung bagi kesehatan masyarakat dan keberlanjutan pembangunan nasional. Mengingat setelah sektor semen, industri baja termasuk penghasil emisi GRK terbesar nasional 20–30 juta ton CO₂ per tahun. Selain itu, industri juga harus patuh kepada peraturan internasional tentang perubahan iklim, salah satunya adalah SNDC (Second Nationally Determined Contribution) yang wajib untuk dilakukan. “NDC Indonesia diikat dengan ratifikasi Paris Agreement oleh Pemerintah Indonesia , dan itu sifatnya binding”, pungkas Dr. Retno.
Ia mengatakan, AEER merekomendasikan perlunya dibuat buffer zone untuk Industri yang berdampak langsung pada warga. Terlebih jika hanya berjarak ±300 meter sejak awal jarak ini sangat rawan terhadap paparan polusi udara. Dibutuhkan juga sinergi aktif antara pemerintah daerah, pelaku industri, dan masyarakat sekitar dalam merencanakan, menata, dan mengawasi zona penyangga—agar kualitas udara dan dampak kesehatan dapat dikendalikan secara bertahap.
Selain itu, transparansi dan pelibatan publik dalam bentuk sistem pemantauan udara real-time (misalnya, Air Quality Monitoring Systems) di zona industri, dengan publikasi indeks kualitas udara dan portal informasi publik—memberi masyarakat akses langsung terhadap kondisi lingkungan mereka, dan memperkuat akuntabilitas industri. (H-3)