
Pengamat intelijen sekaligus salah satu pendiri Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai istilah semi darurat militer yang belakangan ramai dibicarakan tidak memiliki pijakan hukum dalam sistem kenegaraan Indonesia. Menurutnya, negara hanya mengenal tiga tingkatan keadaan bahaya sebagaimana diatur dalam Perppu No. 23 Tahun 1959, yaitu darurat sipil, darurat militer, dan keadaan perang. Dengan demikian, penggunaan istilah semi darurat militer dianggap keliru dan spekulatif.
"Istilah semi darurat militer itu sebenarnya tidak dikenal dalam sistem hukum kita," ujar Fahmi saat dihubungi, Senin (1/9).
Ia menegaskan, penetapan status darurat tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Presiden sebagai Panglima Tertinggi hanya dapat menyatakannya bila terdapat alasan kuat, seperti pemberontakan, kerusuhan besar, bencana alam yang tak bisa ditangani secara biasa, ancaman perang, atau kondisi yang benar-benar mengancam kelangsungan hidup negara.
Fahmi kemudian merujuk pada pengalaman historis penerapan status darurat di Indonesia. Ia menyebut kerusuhan Maluku pada akhir 1990-an hanya ditangani dengan status darurat sipil. Sedangkan Aceh pada 2003–2004 sempat berada dalam status darurat militer, yang menjadi dasar hukum operasi militer menumpas Gerakan Aceh Merdeka.
Melihat situasi saat ini, Fahmi menilai kondisi di Jakarta maupun daerah lain masih jauh dari layak untuk masuk ke dalam kategori darurat sipil, apalagi darurat militer. "Menyebut kondisi sekarang sebagai semi darurat militer adalah spekulasi yang terlalu liar dan tidak memiliki dasar hukum," tuturnya.
Ia juga menyinggung wacana pemberlakuan jam malam yang belakangan muncul. Menurutnya, kebijakan itu masih bisa dilakukan dalam kerangka tertib sipil. Bahkan tanpa status darurat, aparat dapat membatasi atau mengimbau pengurangan aktivitas malam demi menjaga ketertiban umum dan mencegah kriminalitas.
"Dengan demikian, kebijakan seperti jam malam kalaupun benar akan diterapkan, itu bukanlah tanda masuk ke status darurat militer," jelas Fahmi.
Lebih jauh, ia menekankan, negara masih berjalan dalam koridor normal. Pemerintah dan aparat disebutnya berusaha mencegah eskalasi politik agar tidak berkembang menjadi instabilitas serius. Seluruh kebijakan pun, kata Fahmi, tetap berada dalam bingkai hukum dan mekanisme konstitusional.
"Yang tak kalah penting, seluruh kebijakan ini tetap berada di bawah kontrol sipil. Aparat keamanan hanya menjalankan fungsi menjaga keamanan dan ketertiban, bukan mengambil alih kekuasaan politik," pungkas Fahmi. (E-3)