
Sejumlah kepala daerah menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas Pemilihan Legislatif (Pileg) DPRD tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota yang akan digabung dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Putusan itu dibacakan dalam sidang putusan nomor 135/PUU-XXII/2024 terkait uji materiil UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi UU.
Salah satunya dari Bupati Bengkulu Selatan Rifai Tajidun. Ia mengatakan, putusan MK sudah berdasarkan pertimbangan yang matang sehingga dirinya akan mengikutinya.
“Ya, tentunya pemerintah mengkaji dari segala aspek ya, demokrasiannya cukup dalam, artinya seluruh diidentifikasi, baik buruknya, seluruh pertimbangan. Setelah itu, lahir mungkin kita ikut melaksanakan dan mematuhi apa yang menjadi keputusan dari pemerintah sendiri,” tutur Rifai di Kampus IPDN Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jabar, Kamis (26/6).
Sementara itu, Gubernur Bali Wayan Koster, mengatakan akan mengikuti putusan MK karena berkaitan dengan Undang-Undang. Selain itu, Kemendagri juga akan membahasnya untuk ditindaklanjuti.
“Ya, kan itu putusan MK yang tentu harus dilaksanakan dan untuk tindak lanjutnya kan ada DPR berkaitan dengan Undang-Undang-nya, juga Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pasti akan mengalami pembahasanya, kita ikut,” komentar Wayan.
Adapun Bupati Puncak Jaya Papua Yuni Wonda menilai, tidak mungkin untuk menolak putusan MK karena sifatnya mengikat. Meskipun anggaran untuk penyelenggaraan Pemilu di Papua cukup mahal.
“Saya pikir itu biaya jelas mau putusan itu atau tidak tidak pengaruh karena sudah terbiasa. Jadi putusan itu tetap berlaku karena putusan MK itu final dan mengikat jadi saya pikir tetap akan berlaku,” pungkasnya.
Isi Putusan MK

Sebelumnya, MK menyatakan Pasal 167 ayat 3 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UU tahun 1945 dan tidak punya kekuatan hukum mengikat.
"Menyatakan Pasal 347 ayat 1 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai 'pemungutan suara dinyatakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden atau Wapres, dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan sejak pelantikan anggota DPR, anggota DPD atau sejak pelantikan presiden/wapres diselenggarakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, wali kota/wakil wali kota," jelas Ketua MK Suhartoyo dalam amar putusan.
Selain itu, MK menyatakan Pasal 3 ayat 1 UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan Peraturan Pemerintah pengganti UU Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota bertentangan dengan UUD NKRI 1945.
Gugatan tersebut dilayangkan Yayasan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dalam hal ini diwakili Khoirunnisa Nur Agustyati sebagai Ketua Pengurus Yayasan Perludem dan Irmalidarti sebagai Bendahara Pengurus Yayasan Perludem.