
Langkah pemerintah menyepakati permintaan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk membebaskan bea masuk produk-produk AS ke Indonesia berpotensi menuai masalah baru.
Direktur Eksekutif CORE (Center of Reform on Economics) Indonesia, Mohammad Faisal, menyebut pemberian tarif 0 persen atau Non-Tariff Measures (NTM) kepada AS, berpotensi membuat Indonesia digugat oleh negara-negara lain.
“Jadi ketika diberikan 0 persen, kemudian NTM itu diperlakukan spesial untuk Amerika, akan sangat challenge ya. Jadi challenge men-challenge ya, di dalam kaca global itu sangat lumrah terjadinya,” ungkap Direktur Eksekutif CORE (Center of Reform on Economics) Indonesia, Mohammad Faisal, dalam acara CORE Mid Year Review 2025, Kamis (24/7).
Menurutnya, dalam ketentuan World Trade Organization (WTO), perbedaan treatment dalam persyaratan investasi termasuk juga perdagangan sering menjadi sorotan. Terutama perbedaan perlakuan antara dari asing sama domestik.
Pemberian tarif khusus kepada AS bisa dianggap sebagai bentuk lain dari perbedaan perlakuan, sehingga sangat mungkin untuk digugat. Menghadapi potensi tersebut, Faisal menilai, diplomasi menjadi kekuatan utama dalam menghadapi tantangan tersebut.
“Diplomasi dulu, jadi kita bisa menang bisa kalah tergantung diplomasinya kuat atau enggak,” ungkap Faisal.
Selain itu, strategi regulasi cerdas (smart regulations) merupakan hal penting selanjutnya. Faisal mengungkapkan agar pemerintah tidak terang-terangan mengungkapkan standar yang dihitung sebagai NTM, karena hal ini mudah dipantau oleh negara lain.
“ketika kita ingin menerapkan satu standar yang dihitung sebagai NTM itu tadi, itu jangan di disclose. Karena ini kan dimonitor dengan gampang sekali,” ungkapnya.
Berdasarkan pengamatannya dari beberapa studi yang telah dilakukan, cara negara-negara lain itu menyembunyikan NTM adalah tidak langsung menggunakan regulasi pemerintah. Seperti yang dilakukan di negara lain itu terutama negara maju, pemerintah bekerja sama dengan asosiasi bisnisnya.
“Dia taruh itu di peraturan persyaratan di asosiasi bisnis. Jadi asosiasi bisnisnya yang menetapkan bahwa ini syaratnya harus begini kalau masuk dalam asosiasi atau harus memerdagang produk ini syaratnya begini gitu. Bukan pemerintahnya.Jadi itu salah satu contohnya,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Faisal juga menyoroti dampak terhadap industri manufaktur dalam negeri, terutama terkait Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Tujuan utama pemberian insentif ini seharusnya untuk mendorong pertumbuhan industri manufaktur lokal.
“Nah tujuannya itu kan supaya industri manufakturnya itu kan bagus itu. TKDN itu mendorong industri manufakturnya bagusnya. Jadi ketika ada dispensasi terlihat dengan juga TKDN industrinya itu juga pasti kenal," ungkapnya.
Faisal menekankan, pemerintah perlu menunjukkan kecerdasan dalam mempertahankan industri domestik, meskipun ada tekanan atau kesepakatan dengan Amerika Serikat. Strategi regulasi cerdas menjadi penting sebagai jalan keluar (exit strategy) agar kebijakan ini bisa berjalan efektif tanpa digugat oleh negara lain selain Amerika.
Dalam kesempatan yang sama, Research Associate CORE Indonesia Sahara memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa menyentuh 5,04 persen pada semester II 2025 atau membaik dari kuartal I 2025 yang berada di angka 4,87 persen.
Sahara menuturkan angka tersebut bisa dicapai jika Indonesia bisa memanfaatkan dengan baik status keanggotaan BRICS.
“Kalau kita bisa memanfaatkan akses pasar ke BRICS. Diversifikasi ekspor itu diharapkan tidak hanya menggantungkan diri kepada Amerika Serikat saja, tetapi juga ke negara-negara anggota BRICS yang lainnya,” kata Sahara dalam kesempatan yang sama.
Meskipun Sahara juga mengakui masih ada sederet persyaratan, perbaikan produk industri lokal dan meningkatkan daya saing untuk bisa menjajaki pasar baru di negara BRICS.
Sementara untuk semester I 2025, Sahara memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada posisi 4,77 persen. “Kalau kita lihat di sini, di simulasi satu pertumbuhan ekonomi Indonesia ini akan terkontraksi 4,77 persen,” jelasnya.
***
Reporter: Nur Pangesti