
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menyayangkan pernyataan Presiden yang mengklaim adanya aksi makar dan terorisme dalam demonstrasi sepekan terakhir di beberapa wilayah.
“Melabeli aksi demonstrasi masyarakat dengan tuduhan makar maupun terorisme sangatlah berlebihan, apalagi jika terus menerus disampaikan dengan narasi ‘campur tangan asing’ dan ‘adu domba’ saat masyarakat sedang berdemonstrasi menyuarakan aspirasi terkait kebijakan pemerintah yang bermasalah,” jelas Usman dalam keterangannya pada Selasa (2/8).
Usman menegaskan bahwa aksi demonstrasi tersebut bukanlah tindakan makar maupun terorisme. Ia juga menyebut bahwa pernyataan presiden tersebut tidak sensitif terhadap segala keluhan dan aspirasi yang masyarakat suarakan dalam aksi demonstrasi.
Selain itu, Usman mendorong agar penegak hukum yang memiliki wewenang untuk menindak setiap tindak pidana di lapangan dapat dilakukan dengan mengedepankan prinsip proporsionalitas, nesesitas dan legalitas yang berlandaskan nilai-nilai HAM.
“Negara tidak boleh menggunakan cara-cara yang melanggar HAM bahkan dalam merespon suatu tindak pidana sekalipun. Ada koridor yang telah ditetapkan dan aparat wajib mematuhi prinsip-prinsip HAM dalam mengamankan aksi demonstrasi,” katanya.
Selain itu, Usman menyesali instruksi Presiden kepada Kapolri dan Panglima TNI terkait langkah kebijakan “tembak di tempat” kepada pengunjuk rasa yang dicap sebagai anarkis.
“Instruksi tembak di tempat, walaupun hanya dengan menggunakan peluru karet, tetap berisiko menimbulkan luka yang fatal bagi korban,” tukasnya.
Menurut Usman, negara harus merespons tuntutan dari berbagai kelompok rakyat dengan rangkaian perubahan kebijakan menyeluruh bukan dengan cara represif.
“Misalnya, membenahi kebijakan makan bergizi gratis, Danantara, Proyek Strategis Nasional hingga kebijakan tunjangan anggota parlemen yang dinilai tidak adil bagi rakyat,” ungkapnya.
Usman juga mendorong negara untuk melakukan evaluasi serius atas pengamanan aksi demonstrasi sekaligus mengusut dan mengadili semua aparat keamanan yang bertanggungjawab atas penggunaan kekuatan berlebihan.
“Dari mulai pemukulan, penangkapan sewenang-wenang, sampai dan penggunaan kendaraan yang melindas Affan Kurniawan sampai tewas,” imbuhnya.
Alih-alih memberi sanksi ringan secara internal dan memilih memperkuat narasi yang menyudutkan masyarakat dengan terminologi anarkis, Usman menilai negara seharusnya melakukan investigasi independen dan terpercaya.
“Pilihan kebijakan ini hanya menambah luka dan memperlebar jarak antara rakyat dengan negara,” jelasnya.
Di samping itu, Usman menilai instruksi dari Presiden dan Kapolri terkait tembak di tempat itu juga membahayakan karena menutupi represi negara terhadap suara-suara kritis.
“Ini menutupi akar persoalan yaitu maraknya ketidakpuasan rakyat atas praktik kebijakan negara yang buruk dan tidak adil,” tuturnya.
Menurut Usman, pemerintah seolah mengabaikan fakta bahwa aksi protes itu hak konstitusional warga negara yang dijamin UUD 1945 dan menggiring opini publik bahwa demonstrasi identik dengan kerusuhan.
Jika hal itu terus dinarasikan, lanjut Usman, justru mempersempit ruang kebebasan berekspresi dan membenarkan tindakan represif.
Lebih jauh, Usman menekankan ada hal yang lebih mendesak bagi pemerintah yakni mengevaluasi seluruh kebijakan negara yang menyangkut kehidupan sosial ekonomi rakyat.
“Seperti kenaikan pajak bumi dan bangunan, program makan bergizi gratis, tunjangan mewah bagi pejabat, hingga masalah perluasan peran militer di urusan non-pertahanan, dan perbaikan kesejahteraan rakyat. Hal-hal itulah yang selama ini terus disuarakan secara kritis oleh rakyat,” ujarnya. (E-3)