REPUBLIKA.CO.ID, oleh Muhammad Nursyamsyi
JAKARTA -- Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Budi Santoso Sukamdani menyoroti polemik pengenaan royalti musik di tempat usaha seperti hotel, restoran, dan kafe (Horeka), yang dinilai memberatkan pelaku usaha dan minim sosialisasi dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Hariyadi menegaskan pelaku usaha mendukung dan menghargai hak-hak para pencipta lagu dan musisi.
"Saya rasa kayaknya tidak ada yang tidak mengapresiasi rekan-rekan musisi kita, bahkan menurut Federasi Serikat Musisi Indonesia, hampir 75 persen aktivitas mereka di Horeka. Artinya penghasilan terbesar itu dari Horeka," ujar Hariyadi kepada Republika, Selasa (5/8/2025).
Namun demikian, Hariyadi mengungkapkan permasalahan terkait sistem pengelolaan dan penarikan royalti sudah diprediksi sejak lama. Hariyadi menyebut PHRI telah menjalin nota kesepahaman (MoU) dengan LMKN sejak 2016 yang kala itu menerapkan sistem blanket atau glondongan.
"Kita sih tidak masalah. Tapi waktu itu kita bilang sistem blanket kurang pas dan ini nantinya pasti akan menimbulkan keributan karena dianggap tidak transparan," ucap pria kelahiran Jakarta pada 1965 tersebut.
Hariyadi menyebut sistem tersebut tidak hanya dikeluhkan pelaku usaha, tetapi juga para musisi. Dia mencontohkan adanya musisi ternama yang hanya menerima royalti Rp 300 ribu dalam setahun karena dianggap sudah tidak populer lagi.
"Mayoritas musisi, mereka juga tidak happy dan pada ngamuk dengan sistem blanket tersebut," sambung Hariyadi.
Lulusan Magister Manajemen, Universitas Indonesia (UI) itu memaparkan persoalan tarif royalti juga menjadi perdebatan panjang, terutama dalam menentukan dasar perhitungannya yang sesuai dengan kondisi masing-masing pelaku usaha. Hariyadi menyebut tarif yang disepakati pada 2016 pun masih menyisakan ketidakpuasan, terutama bagi pelaku usaha dengan okupansi rendah.
"Saya juga bilang ke anggota PHRI terkait tarif royalti, kalau memang keberatan, tidak usah memutar lagu saja di tempat mereka," lanjut dia.
Hariyadi pun menyoroti lemahnya sosialisasi dari pihak LMKN setelah kesepakatan tarif tercapai. Hariyadi menyayangkan pendekatan yang minim kepada pelaku usaha dan tindakan hukum yang langsung diambil tanpa komunikasi terlebih dahulu.
"LMKN waktu itu berpikir sudah tanda tangan sama PHRI maka sudah selesai ceritanya. Mereka itu tidak melakukan sosialisasi secara masif dan terus tindakannya langsung mengambil tindakan hukum, pidana," kata pria yang pernah menempuh pendidikan Fakultas Teknik Sipil, Universitas Sebelas Maret Surakarta tersebut.
Hariyadi menilai tindakan langsung menempuh jalur pidana justru menimbulkan keresahan bagi para pelaku usaha. Terkait kasus Mie Gacoan yang belakangan ramai dibicarakan, Hariyadi berpendapat penegakan aturan harus disertai dengan pendekatan yang transparan.
"Menurut pandangan kita itu silakan saja kalau memang sudah dikasih tahu. Yang menjadi masalah itu kalau tidak ada sosialisasi, pemberitahuan, lalu tiba-tiba muncul invoice," ungkap Hariyadi.
Meresahkan Pelaku Usaha…