
MARAKNYA peredaran rokok ilegal di Indonesia memicu kekhawatiran akan meluasnya praktik ekonomi bayangan (shadow economy). Kondisi ini mendorong munculnya desakan dari kalangan ekonom untuk melakukan deregulasi terhadap kebijakan-kebijakan di sektor strategis yang berdampak terhadap perekonomian nasional. Salah satu di antaranya adalah pasal-pasal tembakau dalam Peraturan Pemerintah (PP) 28/2024, yang dinilai membuka celah bagi aktivitas ilegal.
Shadow economy merupakan aktivitas ekonomi, baik legal maupun ilegal, yang tidak tercatat atau disembunyikan dari otoritas berwenang untuk menghindari kewajiban seperti pajak, cukai, atau regulasi. Fenomena ini dinilai semakin mengancam perekonomian nasional. EY Global Shadow Economy Report 2025 menunjukan bahwa saat ini Indonesia merupakan salah satu negara dengan shadow economy paling marak di dunia yang nilainya mencapai 23,8% total PDB atau sekitar USD 326 miliar, di mana potensi kehilangan pajak dapat mencapai Rp500 triliun per tahunnya.
Ekonom Senior dan Dewan Pakar Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Wijayanto Samirin, menyoroti anomali kebijakan yang memperlemah pengawasan terhadap rokok ilegal, sementara regulasi yang ada justru membuka peluang peredarannya. “Deregulasi asal tidak berhenti pada peraturan tetapi harus berujung pada implementasi di lapangan dan berorientasi hasil bukan prosedur, akan membantu menekan aktivitas ekonomi ilegal,” ujarnya dilansir dari keterangan resmi, Kamis (28/8).
Salah satu sorotan utama adalah aturan zonasi larangan penjualan dan iklan luar ruang bagi produk tembakau pada PP 28/2024, serta wacana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek pada Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) yang merupakan aturan turunan PP 28/2024.
Menurut Wijayanto, kebijakan ini berisiko memperluas pasar rokok ilegal karena melemahkan daya saing produk legal. Ia juga mengkritisi pasal yang melarang penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, yang dinilai kurang efektif dibandingkan pengawasan usia pembeli.
“Besarnya porsi shadow economy terhadap PDB dipengaruhi oleh kepastian dan penegakan hukum di suatu negara. Semakin buruk kualitas penegakan hukum, maka akan semakin subur pula shadow economy bertumbuh,” ujarnya.
Wijayanto mendorong pemerintah untuk mengadopsi mekanisme pengawasan yang lebih ketat, seperti di banyak negara lain yang mewajibkan pembeli menunjukkan kartu identitas dan memberikan sanksi berat bagi toko yang melanggar.
Selain itu, tingginya tarif cukai rokok juga disebut menjadi pemicu utama meningkatnya bisnis rokok ilegal. Meski kontribusi industri tembakau terhadap perekonomian sangat besar, terutama melalui Cukai Hasil Tembakau (CHT), potensi kerugian negara akibat rokok ilegal sangat signifikan.
Data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa penerimaan CHT pada 2024 mencapai Rp 216,9 triliun, mencakup sekitar 73% dari total penerimaan cukai negara.
Namun, di sisi lain, peredaran rokok ilegal diperkirakan merugikan negara sebesar Rp15 triliun hingga Rp 25 triliun per tahun. Pada 2023, DJBC mengamankan 253,7 juta batang rokok ilegal, dan jumlah ini melonjak tajam pada 2024 menjadi 710 juta batang, dengan nilai mencapai Rp1,1 triliun.
Kerugian tersebut mencerminkan betapa masifnya dampak shadow economy terhadap penerimaan negara, yang seharusnya dapat digunakan untuk mendanai berbagai program pembangunan masyarakat. (H-2)