
Dinginnya malam 1 suro tak menyurutkan ribuan masyarakat untuk datang ke Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Mereka mengikuti Lampah Budaya Mubeng Beteng sebuah tradisi budaya yang hingga kini terus lestari.
Kegiatan ini bukan acara yang diinisiasi Sri Sultan atau Hajad Dalem Keraton. Ini adalah Hajad Kawula Dalem alias acara yang diprakarsai masyarakat umum dan para abdi dalem.
Meski begitu, antusias masyarakat tak pernah surut. Bahkan, digandrungi muda mudi. Salah satunya Maria Ana (25 tahun), perempuan asal Kabupaten Kulon Progo.
"Baru pertama kali. Tahu ada Mubeng Beteng terus ke sini," kata Ana.
Lestarikan Budaya

Dia rela malam-malam ke sini karena ingin tahu budaya Jawa. Selain itu dia ingin nguri-nguri atau melestarikan budaya Jawa.
"Pengin nguri-uri kebudayaan Jawa karena kita juga orang Jawa pengin tahu budaya yang ada seperti apa pengin lebih dekat aja," katanya.
Sedang Penelitian
Tak hanya orang DIY, Wahyu Widi Ardana (25 tahun) yang berasal dari Magelang, Jawa Tengah juga tertarik mengikuti Mubeng Beteng.
Selain rasa ingin tahu, Wahyu juga mengikuti acara ini karena tengah riset soal budaya Jawa untuk tugas akhir kuliahnya.
"Kebetulan saya lagi tugas akhir kebetulan juga ngangkat budaya Yogya jadi sekalian riset biar tahu bagaimana proses budaya bagaimana," kata Wahyu.
"Belum tahu (maknanya). Jadi sekalian sambil riset," tuturnya.
Lebih Dekat dengan Yogya
Primadi Priyolaksono (24 tahun) asal Kabupaten Bantul juga baru pertama kali ikut Mubeng Beteng.
"Biar lebih dekat dengan Yogya. Saya kan juga merasa warga Yogya, kalau nggak pernah coba jadi ada yang kurang jadi biar tahu rasanya juga. Tahu nilai-nilai budaya di Yogya ini seperti apa," ucap Primadi.
Primadi juga mengenakan pakaian Jawa, harapannya nuansa budaya Jawanya akan semakin kuat.
Persiapkan Fisik
Di sisi lain, Primadi mengaku juga telah mempersiapkan fisik. Ini menurutnya perlu karena dia akan berjalan sejauh sekitar 5 kilometer.
"Yang penting niat aja. Olahraga juga," katanya.
Prosesi Mubeng Beteng

Prosesi Mubeng Beteng ini dimulai dari pukul 21.00 WIB. Para abdi dalem akan mulai melantunkan macapat (tembang puisi tradisional Jawa) di depan Bangsal Pancaniti.
Abdi Dalem Kaji pun turut memimpin doa. Suasananya khusyuk dan khidmat.
Ketika lonceng di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat berbunyi 12 kali, artinya telah pukul 12 malam. Ini jadi tanda Lampah Budaya Mubeng Beteng.
Ribuan masyarakat berjalan kaki dari Kamandhungan Lor atau Keben (sisi dalam keraton). Mengitari benteng Keraton Yogyakarta, melewati Jalan Kauman, Jalan H Agus Salim, Jalan Wahid Hasyim, Jalan MT Haryono, Jalan Brigjen Katamso, Jalan Ibu Ruswo, dan kembali ke Keben.
Tentang Mubeng Beteng
Kepala Sekolah Macapat dan Aksara Jawa Kawedanan Kridhamardawa Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Kanjeng Mas Tumenggung (KMT) Projosuwasono, saat diwawancara kumparan pada malam 1 Suro 2023 silam mengatakan meski bukan Hajad Dalem Keraton, tetapi Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X mendukung penuh.
"Ini murni kegiatan dari masyarakat, tetapi didukung, diizinkan oleh Sri Sultan. Kemudian didukung dengan Dana Keistimewaan atau Danais," kata Projosuwasono waktu itu.
Menurut Projosuwasono, Mubeng Beteng adalah tradisi lama. Idenya diambil dari Abdi Dalem Kemit Bumi. "Abdi dalem ini adalah abdi dalem yang menjaga keamanan. Kemudian itu tradisi. Kemudian keliling beteng untuk merefleksi itu setiap 1 Suro diadakan Mubeng Beteng," katanya.
Secara umum, tak ada persiapan khusus yang dilakukan abdi dalem karena ini adalah acara rutin tahunan. Terlebih, kata dia, bukan kemeriahan yang dicari dalam Mubeng Beteng, peserta justru disarankan untuk tak bicara selama berjalan kaki kurang lebih 2 jam.
"Ketika masyarakat keliling beteng itu diharapkan tidak hura-hura. Justru selama mubeng beteng ini kita diharapkan untuk memanjatkan doa. Doa selama ini kita diberikan anugerah kesehatan dan sebagainya juga berdoa untuk waktu-waktu yang akan datang harapannya akan lebih baik dari pada tahun-tahun yang lalu," katanya.
Berdiam diri selama acara berlangsung kuga bukan tanpa tujuan. Mereka diminta untuk berdoa di dalam hati sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Dalam diam itu pula diharapkan tiap manusia bisa berintrospeksi.
"Bukan berarti diam tetapi diharapkan memperbanyak membaca doa. Silakan yang Katolik ya Katolik, yang Islam ya Islam, diserahkan masing-masing," katanya.