
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mendorong penguatan kolaborasi lintas sektor untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan, terutama dalam proses hukum. Hal ini disampaikan dalam diskusi publik yang digelar pada Rabu (23/7), bertepatan dengan peringatan 41 tahun ratifikasi CEDAW dan 17 tahun berdirinya LPSK.
Wakil Menteri PPPA Veronica Tan dalam pidatonya menyoroti tingginya angka kekerasan terhadap perempuan di 2024 yang mencapai 445.428 kasus naik 10% dari tahun sebelumnya. Ia menekankan pentingnya kerja bersama untuk mengubah kondisi ini.
“Kata kuncinya adalah kolaborasi. Inilah waktunya untuk kita melakukan kolaborasi bersama. Kita bisa kalau kita bersama,” ujarnya dalam pidato yang disampaikan lewat video dalam diskusi publik LPSK, Rabu (23/7).
Dalam kesempatan yang sama, Komnas Perempuan, sebagai lembaga yang juga berperan dalam mengawasi pelanggaran HAM berbasis gender, menegaskan pentingnya keterlibatan negara dalam melindungi perempuan. Ketua Komnas Perempuan Maria Ulfah menjelaskan bahwa lembaganya terus mendorong Indonesia untuk sepenuhnya mengimplementasikan CEDAW melalui berbagai pendekatan. “Membangun norma global, memperkuat jaringan di level internasional untuk Indonesia, dan menyuarakan isu-isu yang tidak terlihat, yang belum ada regulasinya,” kata Maria.

Sementara itu, Ketua LPSK Sri Nurherwati juga menekankan bahwa LPSK ingin lebih aktif terlibat dalam pelaporan internasional untuk mencerminkan kemajuan dalam perlindungan hukum bagi perempuan dan anak korban kekerasan. “Kita belum pernah terlibat di dalam pelaporan internasional, sehingga kita ingin berpartisipasi dan merefleksikan apa yang sudah kita lakukan. Kemajuan-kemajuan di bidang hukum, karena kita tahu perempuan dan anak terdiskriminasi di dalam proses penegakan hukum,” ujar Sri.
Sri juga menuturkan LPSK berkomitmen untuk mendorong kemajuan-kemajuan dalam upaya penghapusan diskriminasi terhadap perempuan di dalam ranah pengadilan nasional melalui perubahan regulasi-regulasi yang itu mendiskriminasikan. Tujuannya agar perempuan dan anak yang menjadi saksi dan korban berani untuk menyampaikan apa yang mereka ketahui dan alami, sehingga penegakan hukum yang berkeadilan gender bisa terwujud.
Kunci pergerakan hukum adalah saksi dan korban
Dalam kasus kejahatan, terutama kekerasan, saksi dan korban adalah kunci pergerakan hukum. Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha dalam pidato pembukaannya di diskusi publik. Pakar Perempuan dan HAM Yuniyanti Chuzaifah juga menuturkan terkait signifikansi LPSK serta perlindungan saksi dan korban dalam kasus diskriminasi terhadap perempuan. Menurut Yuniyanti, isu diskriminasi dan kekerasan akan menjadi impun kalau perlindungan saksi dan korban tidak terjadi.
Senada, Sri juga membenarkan hal tersebut. Menurutnya saksi dan korban itu salah satu alat bukti yang sah. "Sehingga kita ini, LPSK, bertugas untuk memberikan jaminan pada saksi dan korban agar bisa memberikan keterangan sesuai dengan kebenaran material dan apa yang dia ketahui,” ungkapnya.
Penulis: Zulfa Salman