Lampung Geh, Bandar Lampung – Kuasa hukum keluarga almarhumah bayi Alesha Erina Putri mengungkapkan adanya dugaan perbedaan harga signifikan terkait alat medis yang digunakan dalam operasi di RSUD Abdul Moeloek (RSUDAM).
Orang tua pasien diminta membayar Rp8 juta untuk alat medis Disposable Linear Cutter Stapler, padahal harga pasaran disebut hanya berkisar Rp1,4 juta hingga Rp4,5 juta.
Ketua tim kuasa hukum, Adjo Supriyanto dari Kantor Hukum WFS & Rekan, menyebut pembayaran alat medis tersebut dilakukan langsung oleh orang tua pasien ke rekening pribadi dokter spesialis bedah anak RSUDAM, Billy Rosan.
“Berdasarkan bukti transfer, orang tua pasien membayar Rp8 juta ke rekening pribadi dokter. Padahal, setelah kami telusuri, harga pasaran alat medis yang sama berada di kisaran Rp1,4 juta sampai Rp4,5 juta,” ujar Adjo saat diwawancarai Lampung Geh, pada Jumat (22/8).
Adjo menjelaskan, sebelum tindakan operasi dilakukan, dokter Billy memberikan dua opsi kepada keluarga pasien.
Opsi pertama adalah operasi pemotongan usus dengan pembuatan kantung stoma yang membutuhkan lebih dari satu kali tindakan operasi.
Opsi kedua adalah operasi satu kali dengan menggunakan alat medis tambahan yang disebut tidak ditanggung oleh BPJS Kesehatan.
Untuk opsi kedua, orang tua pasien diminta membeli alat dengan cara mentransfer dana Rp8 juta langsung ke rekening dokter.
Keluarga pasien, pasangan Sandi Saputra (27) dan Nida Usofie (23), warga Way Urang, Kalianda, Lampung Selatan, mengaku mengikuti arahan tersebut demi keselamatan putri mereka, Alesha Erina Putri.
Namun, bayi berusia dua bulan itu meninggal dunia pasca operasi di RSUDAM.
Kuasa hukum menilai perbedaan harga alat medis tersebut menimbulkan dugaan adanya pelanggaran terhadap sejumlah aturan.
Di antaranya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1191/Menkes/PER/VIII/2010 tentang Penyaluran Alat Kesehatan, yang menegaskan penyaluran alat kesehatan tidak boleh dilakukan secara langsung oleh tenaga medis kepada pasien.
Ia menjelaskan, dokter yang bersangkutan tidak memiliki kewenangan menjual alat medis kepada pasien, namun diduga memperoleh keuntungan dari transaksi tersebut.
“Pertama yang pasti soal kode etik seorang dokter. Kedua, ada dugaan tindak pidana penggelapan dan atau penggelapan dana dalam jabatan ketika yang bersangkutan ini tidak memiliki kewenangan melakukan penjualan alat, kemudian mendapatkan keuntungan,” ujar Adjo
Menurut Adjo, bila bukti-bukti terkait hal tersebut terpenuhi, maka unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 372 dan 374 KUHP sudah jelas.
“Ketika dua hal itu didapat bukti-buktinya, maka jelas ini sudah memenuhi unsur tindak pidana penggelapan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 372 atau 374 KUHP kita,” tegasnya.
Atas dasar itu, tim kuasa hukum berencana menempuh jalur hukum dengan membuat laporan resmi ke Polda Lampung.