PRESIDEN Prabowo Subianto dua kali melabeli gelombang demonstrasi yang terjadi belakangan ini mengarah kepada tindakan makar. Alasannya, unjuk rasa yang berlangsung sejak akhir Agustus disertai perusakan dan pembakaran gedung pemerintah.
Pada Ahad, 31 Agustus 2025, Prabowo menyebut ada upaya tindakan melawan hukum yang mengarah kepada makar dan terorisme dalam demonstrasi yang berujung ricuh dalam sepekan terakhir.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
“Hak untuk berkumpul secara damai harus dihormati dan dilindungi. Namun kita tidak dapat pungkiri bahwa ada gejala tindakan-tindakan melawan hukum. Bahkan ada yang mengarah pada makar dan terorisme,” kata Prabowo dalam pernyataannya didampingi pimpinan partai politik di Istana Kepresidenan, Jakarta.
Sehari kemudian, pada Senin, 1 September 2025, Prabowo menyebut pembakaran gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Makassar di Sulawesi Selatan sebagai tindakan makar. "Ini tindakan makar dan bukan penyampaian aspirasi,” ujar Prabowo saat mengunjungi polisi yang dirawat akibat demonstrasi di Rumah Sakit Polri, Kramat Jati, Jakarta.
Makar kerap dipahami sebagai upaya menjatuhkan pemerintah yang sah. Selain makar, bahasa Indonesia juga mengenal istilah kudeta dan subversi untuk mendeskripsikan usaha menjatuhkan kekuasaan. Apa perbedaan ketiganya?
Pengertian Makar
Dosen Fakultas Hukum Universitas Riau Erdianto Effendi mengatakan kata makar berasal dari bahasa Arab, yaitu al-makr atau makran, yang berarti tipu daya atau rencana jahat. Kata itu menjadi istilah hukum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Secara politik, makar dapat berarti perbuatan yang dilakukan untuk menggulingkan kekuasaan, kepala negara, atau sistem pemerintahan yang sah. Menurut Erdianto, ada tiga klasifikasi makar dalam hukum Indonesia, yaitu makar terhadap presiden atau wakil presiden, makar terhadap wilayah, dan makar terhadap pemerintah.
Erdianto berujar makar terhadap presiden atau wakil presiden termasuk upaya penyerangan hingga pembunuhan. "Atau membuat presiden tidak berdaya atau berhalangan tetap dalam menjalankan fungsinya," kata dia kepada Tempo pada Selasa, 2 September 2025. Aturan yang memidanakan perbuatan tersebut ada dalam Pasal 104 KUHP.
Pengunjuk rasa membawa kayu dan bendera saat dibubarkan paksa oleh personel kepolisian di DPRD Provinsi Kalimantan Timur di Samarinda, Kaltim, 1 September 2025. Antara/M Risyal Hidayat
Sementara makar terhadap pemerintah adalah perbuatan untuk mengambil alih pemerintahan. Upaya tersebut bisa mengakibatkan pemerintahan yang sah tidak dapat berjalan. Perbuatan itu dipidanakan dalam Pasal 107 KUHP.
Adapun makar terhadap wilayah berarti upaya untuk mengambil alih atau memisahkan wilayah, baik seluruhnya maupun sebagian, dari negara. Aturan tentang makar terhadap wilayah termaktub dalam Pasal 106 KUHP. "Makar terhadap wilayah secara politik disebut separatisme," ucap Erdianto.
Erdianto berujar setiap tindakan makar dianggap sebagai perbuatan selesai. Artinya, sebuah perbuatan permulaan untuk makar sudah bisa dianggap sebagai makar yang selesai. "Tetap disebut makar meskipun tujuan yang ingin dicapai pelaku belum terwujud," kata dia.
Pengertian Kudeta
Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah menyebut istilah kudeta tidak dikenal dalam KUHP. Dalam undang-undang tersebut hanya terdapat istilah makar.
Namun secara politik, kata Herdiansyah, kudeta memiliki makna yang erat dengan jenis makar yang berkaitan dengan menjatuhkan pemerintahan yang sah. Klasifikasi makar itu dipidanakan Pasal 107 KUHP. "Kudeta itu lebih erat maknanya dengan makar yang berarti percobaan menggulingkan pemerintahan," kata dia kepada Tempo pada Selasa, 2 September 2025.
Menurut Herdiansyah, kudeta sulit dilakukan oleh masyarakat sipil yang tidak bersenjata. Sebab, kata dia, kudeta adalah upaya aktif yang memerlukan kekuatan besar. Herdiansyah berujar tindakan penggulingan pemerintahan dalam KUHP tetap mensyaratkan upaya permulaan yang sulit dipenuhi sipil.
Herdiansyah menilai pihak yang memiliki senjata, seperti tentara atau polisi, lebih memiliki kemampuan untuk kudeta dibanding masyarakat sipil. "Yang sekarang bisa melakukan makar dalam konteks kudeta adalah kekuatan bersenjata," ucap dia.
Pengertian Subversi
Erdianto Effendi menyebut subversi adalah perbuatan-perbuatan yang dianggap mengganggu stabilitas negara. Selama era Orde Baru, kata dia, tindakan subversif dimaknai oleh pemerintahan mantan presiden Suharto secara luas.
Di era Suharto, menurut Erdianto, negara kerap menuding sipil melakukan perbuatan subversif. Dia berujar Orde Baru biasa melabeli orang-orang yang mengkritik kekuasaan dengan cap subversif.
Tuduhannya bisa berbagai macam. "Semua tindakan yang dianggap mengganggu stabilitas negara, mengganggu stabilitas politik, ekonomi, dan ideologi negara," kata Erdianto.
Indonesia pernah memiliki aturan yang memidanakan kegiatan subversif. Aturan itu adalah Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Beleid itu ditetapkan oleh mantan presiden Sukarno pada 16 Oktober 1963 dan digunakan selama era Suharto. Aturan tersebut juga dikenal sebagai UU Subversi.
Dalam UU Subversi, seseorang bisa disebut melakukan tindak pidana subversi salah satunya jika memiliki niatan untuk merongrong ideologi negara. Aturan itu juga menyebut orang yang memiliki niat menggulingkan atau merusak kewibawaan pemerintahan dan aparatur negara hingga menyebarkan rasa permusuhan sebagai subversif.
Tindak pidana subversi juga mengancam orang yang menyatakan simpati bagi musuh negara. Pelaku perusakan bangunan yang mempunyai fungsi kepentingan umum juga terkena pidana tersebut jika dilakukan secara luas.
UU Subversif turut memidanakan orang yang melakukan kegiatan mata-mata dan sabotase. UU Subversif saat ini telah dicabut melalui Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1999 tentang Pencabutan Undang-Undang Nomor 11/PNPS/Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Pencabutan itu diteken mantan presiden Bacharuddin Jusuf Habibie setelah Reformasi.