REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Tokoh ekonomi syariah nasional yang juga Wakil Presiden ke-13 RI Ma’ruf Amin mengkritisi masyarakat yang belum beralih dari perbankan konvensional ke perbankan syariah. Hal ini menyebabkan pangsa pasar ekonomi syariah di Indonesia masih terbatas. Ia menggambarkan kondisi tersebut dengan istilah “masih tayamum”.
Sebagai informasi, tayamum dalam Islam adalah tindakan bersuci tanpa air, yang diperbolehkan dalam kondisi tertentu, seperti tidak adanya air yang cukup untuk wudhu.
Ma’ruf menjelaskan secara historis perkembangan sistem ekonomi di Indonesia, terutama lahirnya perbankan yang menerapkan bunga untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Menurutnya, perbankan konvensional tumbuh karena masyarakat tidak memiliki pilihan lembaga jasa keuangan lain.
Namun, seiring waktu, perbankan syariah mulai hadir dan berkembang untuk menumbuhkan ekosistem syariah di Indonesia, negara dengan mayoritas penduduk Muslim. Meski demikian, banyak masyarakat yang sudah lama menggunakan layanan perbankan konvensional belum beralih ke perbankan syariah.
“Kalau 10 tahun yang lalu kita sedang berusaha membangun institusinya. Kenapa institusi? Karena sebenarnya syariah itu menghidupkan kembali fikih muamalah. Fikih muamalah itu dulu di masyarakat hidup, misalnya sistem keuangan, ada namanya marobadi yaitu berbagi untung di antara masyarakat,” kata Ma’ruf dalam acara Sarasehan Nasional Ekonomi Syariah Refleksi Kemerdekaan RI Tahun 2025 yang digelar BI dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Kompleks BI, Jakarta Pusat, Rabu (13/8/2025).
Menurutnya, sistem fikih muamalah tersebut terdesak oleh perkembangan institusi seperti perbankan dan asuransi, sehingga dana masyarakat terserap ke bank, dan mereka terpaksa mengikuti sistem konvensional yang ribawi.
Oleh karena itu, dibangunlah lembaga keuangan berbasis syariah untuk memenuhi kebutuhan pendanaan masyarakat dengan cara yang diridai Allah. Namun, meskipun lembaga syariah berkembang, kesadaran masyarakat untuk beralih dari konvensional masih rendah.
“Sayangnya yang terpaksa ini belum pindah. Masih enak di jalan yang terpaksa. Saya bilang, orang-orang ini kalau kita (ibaratkan) shalat itu kalau tidak ada air bisa tayamum, kalau sudah ada air tidak boleh tayamum. Nah, institusi syariah ini kan sudah ada, tapi masih tayamum terus, keenakan tayamum,” ujarnya.
Ma’ruf menilai pangsa pasar ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia sangat besar, baik dari kalangan yang menghindari perbankan karena alasan riba maupun mereka yang sudah terlibat dalam perbankan tetapi belum beralih ke syariah.
“Sekarang sudah ada institusi yang syariah, mereka yang di dalam (industri) masih tayamum. Bagaimana memindahkan yang tayamum ini, nah ini masalah kita,” kata Ma’ruf.
Ke depan, ia mendorong agar ekonomi syariah menjadi arus utama perekonomian Indonesia, dengan memberi “sibghah” atau warna syariah pada semua lembaga.
Selain itu, ia menekankan pentingnya literasi dan inklusi ekonomi serta keuangan syariah agar pangsa pasar semakin luas. Ma’ruf menyinggung perlunya bank syariah memperkuat edukasi kepada masyarakat.
“Tentang literasi kita, supaya jangan tayamum terus, yaitu kita melakukan literasi inklusi supaya pangsa pasar yang tadinya tidak ikut karena dianggap dulu itu sistemnya non-syariah bisa masuk ke syariah. Kemudian, yang ada di BSI, BNI Syariah, supaya bagaimana orang yang sekarang masih pada tayamum itu sudah tidak tayamum lagi,” ujarnya.