
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah, menyampaikan pandangannya terkait kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang tetap menetapkan tarif impor sebesar 32 persen terhadap Indonesia. Ketentuan itu berlaku mulai 1 Agustus.
Said berpendapat langkah Trump dapat mengganggu stabilitas perdagangan dan perlu segera direspons secara strategis oleh pemerintah.
"Pemerintah harus sesegera mungkin mengupayakan pasar pengganti terhadap beberapa barang ekspor ke AS yang tidak layak dari sisi harga pascapengenaan tarif. Pasar seperti BRICS, Eropa, kawasan Amerika Latin serta Afrika patut untuk didalami," kata Said kepada wartawan, Kamis (10/7).
Said menekankan pentingnya diversifikasi pasar ekspor sebagai langkah taktis apabila tarif tetap diberlakukan. Menciptakan alternatif pasar ekspor itu, kata Said, bisa dengan cara penyelesaian multilateral. Menurutnya, banyak negara memiliki kegelisahan yang sama seperti Indonesia.
"Ibaratnya AS sedang memusuhi semua negara, bahkan sekutunya sendiri seperti negara-negara di Eropa barat yang selama ini seiring dan sejalan. Pemerintah bisa menggalang negara-negara tersebut untuk memperkuat kedudukan World Trade Organization (WTO) sebagai kelembagaan yang sah dan adil untuk masalah perdagangan internasional," kata Said.
Melalui perundingan multilateral seperti di WTO atau G20, kata Said, pemerintah bisa mengajak kerja sama negara-negara lain.
'Tujuannya mendapatkan pasar baru atas produk-produk antar negara yang tidak dapat masuk ke AS karena pengenaan tarif tinggi. Dengan demikian, semua negara tidak perlu khawatir sebab produk mereka mendapatkan pasar pengganti," tuturnya.

Namun demikian, Said meminta pemerintahan Prabowo untuk tetap bernegosiasi kembali dengan AS. Sebab AS merupakan pasar ekspor yang tetap menjanjikan bagi produk Indonesia seperti tekstil, pakaian jadi, alat kaki, peralatan listrik, karet, ikan, udang, kakao, hingga mesin.
"Tentu saja pemerintah harus membawa bekal yang lebih menjanjikan dalam proses negosiasi tersebut. Seperti poin yang ditekankan, yakni memungkinkan adanya perusahaan Indonesia melakukan aktivitas manufacturing di AS," ucapnya.
"Selain tawaran untuk menurunkan tingkat defisitnya AS dalam perdagangan dengan Indonesia. Seperti terekam dalam data BPS, neraca dagang Indonesia dengan AS mencatat surplus 6,42 miliar dolar AS atau sekitar Rp 104,9 triliun," tambah politikus PDIP itu.
Adapun di dalam negeri, Said meminta pemerintah untuk memperkuat ketahanan terutama pada sektor pangan, energi, dan moneter.
"Karena ketiga sektor tersebut banyak ditopang dari aktivitas impor, dan pengaruh eksternal. Pemerintah perlu mempercepat program ketahanan pangan dan energi, serta menempuh berbagai pembayaran internasional dengan tidak hanya bertumpu pada Dolar AS," tutup Said.