Radityo Satrio
Pendidikan dan Literasi | 2025-08-17 20:26:01

Sejak lama kampus dipandang sebagai benteng terakhir tradisi intelektual. Ia bukan sekadar tempat belajar formal, melainkan ruang tumbuhnya nalar kritis, keberanian menyampaikan gagasan, serta arena mempertemukan perbedaan pandangan. Kampus hadir bukan hanya untuk menyiapkan lulusan yang siap kerja, melainkan juga membentuk manusia merdeka yang mampu berpikir reflektif, kritis, dan berorientasi pada kepentingan publik.
Namun, belakangan ini ada kecenderungan yang mengkhawatirkan. Tradisi intelektual di perguruan tinggi tampak meredup, digantikan dengan logika bisnis yang semakin kuat. Kampus seringkali lebih sibuk memburu akreditasi, menaikkan peringkat, memperbanyak kerjasama industri, dan mengejar angka publikasi. Hal-hal itu memang penting, tetapi ketika menjadi orientasi utama, kampus perlahan menyerupai korporasi.
Pergeseran Orientasi Kampus
Salah satu tanda jelas dari pergeseran orientasi ini adalah semakin sempitnya ruang untuk diskusi kritis. Forum mahasiswa yang dulunya menjadi tempat bertukar gagasan kini semakin jarang terdengar. Banyak seminar dan kegiatan ilmiah berubah menjadi acara formal yang penuh simbol, tetapi miskin substansi. Diskusi yang menyentuh isu-isu strategis, apalagi menyangkut kritik terhadap kebijakan, sering dianggap mengganggu stabilitas.
Di sisi lain, beban administrasi dan target yang kian berat menjerat para dosen dan peneliti. Mereka dituntut menghasilkan publikasi dalam jumlah tertentu, mengejar indeks sitasi, dan memenuhi laporan keuangan yang rumit. Semua itu akhirnya menggeser orientasi akademik dari pencarian ilmu ke pemenuhan angka. Pendidikan pun berisiko berubah menjadi industri yang mengukur keberhasilan dari indikator kuantitatif semata.
Krisis Identitas Akademik
Ketika kampus dijalankan dengan logika bisnis, maka identitas akademik pun ikut terganggu. Mahasiswa diperlakukan seperti konsumen yang membayar mahal untuk sebuah layanan pendidikan, sementara dosen seperti pekerja yang diikat target produksi. Padahal, esensi pendidikan tinggi adalah proses dialektika antara pengajar dan peserta didik dalam mencari kebenaran ilmiah.
Jika orientasi ini terus berlangsung, maka kampus akan kehilangan keistimewaannya. Ia tidak lagi menjadi ruang lahirnya kritik sosial, pemikiran alternatif, atau gagasan besar yang bisa mengubah arah bangsa. Universitas hanya menjadi pabrik pencetak tenaga kerja, bukan pengawal nalar publik.
Tradisi Intelektual sebagai Penyeimbang
Meski demikian, api tradisi intelektual belum sepenuhnya padam. Masih ada mahasiswa dan dosen yang berupaya menghidupkan diskusi kritis, menulis secara independen, dan meneliti hal-hal yang dianggap kurang populer tetapi penting bagi masyarakat. Tradisi inilah yang perlu dijaga dan diperluas.
Dalam sejarah bangsa, peran kampus begitu besar justru ketika tradisi intelektualnya kuat. Dari ruang kuliah hingga sekretariat mahasiswa, lahir kritik tajam terhadap kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. Dari forum akademik, muncul gagasan besar tentang demokrasi, keadilan, dan masa depan bangsa. Jika tradisi itu hilang, maka kampus akan kehilangan kekuatan transformatifnya.
Bayangan Kampus sebagai Mesin
Untuk menggambarkan situasi ini, kita bisa membayangkan kampus sebagai sebuah mesin. Jika mesin hanya diatur dengan parameter “efisiensi” dan “keuntungan,” maka ia hanya akan menghasilkan angka-angka: laporan keuangan, jumlah publikasi, grafik prestasi. Tetapi jika mesin itu diberi bahan bakar berupa tradisi intelektual, diskusi terbuka, penelitian reflektif, dan keberanian berpikir kritis. Maka hasilnya adalah manusia merdeka yang berani melahirkan perubahan.
Perbedaan itulah yang membedakan universitas dengan korporasi. Korporasi memang berfungsi untuk mencari laba, tetapi universitas berfungsi untuk menjaga peradaban.
Jalan yang Bisa Ditempuh
Agar tidak terjebak menjadi korporasi, ada beberapa langkah penting yang perlu ditempuh. Pertama, kampus harus menghidupkan kembali budaya diskusi yang bebas dan terbuka, baik di level mahasiswa maupun dosen. Kedua, pemerintah perlu menyeimbangkan akuntabilitas dengan otonomi akademik, sehingga kampus tidak sekadar tunduk pada target birokrasi. Ketiga, mahasiswa sebagai aktor utama harus berani merawat nalar kritisnya, meskipun kadang dianggap mengganggu kenyamanan.
Menjaga tradisi intelektual memang tidak mudah, apalagi di tengah arus besar komersialisasi pendidikan. Namun tanpa upaya itu, kampus hanya akan menjadi perusahaan yang menjual jasa pendidikan, bukan ruang pencarian kebenaran.
Penutup
Kampus seharusnya tetap menjadi benteng moral dan intelektual bangsa. Ia tidak boleh kehilangan jati dirinya hanya karena tekanan pasar dan tuntutan administratif. Jika tradisi intelektual runtuh, maka universitas akan berubah menjadi korporasi yang kehilangan ruh. Sebaliknya, jika tradisi itu terus dijaga, kampus akan tetap menjadi cahaya peradaban dan tempat lahirnya ilmu, kritik, dan imajinasi masa depan bagi rakyat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.